Senin, 19 September 2011

Autumn in Paris (Fansmade)

Ehem, ehem...
Alhamdulillah yah, *ala syahrini. Akhirnya tulisan singkatku ini selesai juga. Sebenernya aku nggak jago bikin cerpen. Tapi ini udah membuktikan kalau aku bisa. Hahaha... Amin.
Cerpen ini khusus kupersembahkan pada Tatsuya Fujisawa yang sudah berpulang ke rahmatullah. :'( sedih... Autumn in Paris ini satu-satunya novel yang bikin aku nangis bombay. Karena aku nggak pengen Tara Dupont sendirian di dunia ini, akhirnya aku buat cerpen fansmade ini dengan setulus hati. Semoga Ilana Fans suka. Maaf jika banyak kekurangan disana sini. :D
Gomapseumida.

Autumn in Paris
(Fansmade)




Kalaupun kau mau… kalaupun kau mau membuka hati untukku, aku berjanji. Aku akan disampingmu selamanya. Cukup beri aku kesempatan untuk menunjukkan betapa pedulinya aku. Dan kau akan mengerti.”



Cuaca di Korea Selatan pagi ini sangat dingin. Sama seperti kemarin malam dan hari-hari sebelumnya. Tara Dupont masih tertidur meringkuk dibalik selimut, berharap kehangatan akan menjalari seluruh tubuhnya hingga ia bisa meneruskan untuk tidur kembali. Tapi gagal. Suhu rendah ini membuat kantuk Tara mendadak hilang dan memaksa matanya untuk terbuka lebar. Sudah sekitar enam bulan lebih—beberapa bulan semenjak kematian Tatsuya—Tara memutuskan untuk menetap dan tinggal bersama Sandy, sepupunya, di Korea untuk sementara waktu. Ia tidak tahu pasti apa yang membuatnya bertekad menetap sementara di negeri Ginseng ini. Tapi yang jelas, Tara hanya ingin menenangkan diri. Ya, karena untuk tetap tinggal di Paris tak akan mampu membuatnya melupakan Tatsuya. Lelaki yang jelas-jelas masih terpatri jauh dihatinya. Satu-satunya cara agar ia bisa lupa, hanya dengan pergi sejauh-jauhnya dari Paris. Dan yang orang pertama diingatnya hanya Sandy, bukan ibunya di Indonesia, atau siapapun. Karena itu, dengan segenap tenaga yang tersisa, dengan harapan dapat membuka lembaran baru disana, Tara pergi. Meninggalkan ayahnya di Paris, Sebastien sahabatnya, Élise, dan pekerjaannya sebagai penyiar radio. Ia yakin bisa menemukan hidup baru disana.
Tara terduduk di atas ranjang flat mungil kamarnya yang ia sewa bersama Sandy. Selama di Korea, ia sudah mulai bisa menata hati dan hidupnya kembali, walau bayangan masalalu terkadang masih menghantui. Tapi setidaknya, ia sudah tak sekacau enam bulan yang lalu. Korea telah membantu menghibur hatinya. Dan Tara langsung jatuh cinta pada negeri ini.
Sandy yang sedaritadi mengintip dari sela-sela pintu, memandang Tara yang duduk dengan malas di atas ranjang. Ia senang karena selama disini Tara nampak bahagia. Sandy tersenyum, lalu melebarkan pintunya, menyapa Tara.
"Anneyonghaseo!" sapa Sandy riang. Tara mendongak mendapati sepupunya datang menghampiri lalu Tara menyambutnya dengan senyum manis dipagi hari. Ia sudah banyak belajar bahasa Korea disini terutama huruf hangul melalui kursus Bahasa Korea yang digelutinya selama lima bulan terakhir. Tapi tetap saja, Tara lebih nyaman mengobrol dengan Sandy dalam bahasa Indonesia.
"Hai sepupu. Dingin banget sih diluar. Gue sampai nggak bisa tidur lagi. Bayangin deh, gue cuma tidur nyenyak selama tiga jam gara-gara suhu dingin ini. Dan gue masih ngantuk banget." omel Tara panjang lebar. Sandy tertawa lalu menarik tangan Tara untuk bangun.
"Ayolah. Jangan malas-malasan." Sandy membalas dalam bahasa Indonesia pula. "Pagi ini aku akan menemui dosenku untuk persiapan tugas akhir, dan hari ini giliranmu untuk membersihkan flat.”
Tara mendesah panjang, “Ah, begitu… oke deh. Setelah beres-beres flat, gue berencana untuk pergi menemui kenalanku. Salah seorang teman kuliah saat di Paris dulu. Gue nggak nyangka kalo ternyata dia menetap di Seoul dan bekerja sebagai asisten produser dapur rekaman disini. Tadi malem dia sempet ngirim e-mail, dan akhirnya deh kita ngobrol. Rencananya kita ketemuan di sebuah kafe di daerah Gangnam.”
Sandy seketika tersenyum lebar. “Ommo, siapa? Dia pria, atau wanita? Tampan tidak?”
Tara tertawa. “Ya, dia memang lelaki. Tampan? Gue rasa biasa aja. Emangnya kenapa sih? Kenapa lo jadi semangat?”
Sandy menghembus napas lega. Itulah yang dia inginkan selama ini.  Dan akhirnya Tara masih mau berhubungan dengan seorang pria. Sandy hanya takut, jika sepupunya itu tidak mau membuka diri. Karena meskipun Tara selalu ceria disini, Sandy tak pernah menemukan Tara bergaul dengan teman lelaki. Setidaknya, seorang teman pria dapat melupakan sejenak lara dimasa lalunya.
“Ah, masalah tampan atau tidak itu tak masalah. Yang penting kamu harus kenalkan padaku nanti. Memangnya ada acara apa sih kamu ingin menemuinya?”
“Kami hanya ingin bertemu untuk makan siang. Dan siapa tahu dia mau gue ajak berkeliling kota. Lo tahu, gue lama-lama bisa mati bosan kalo tiap hari kursus bahasa Korea mulu. Gue harus bergerak dan bekerja kalau nggak mau lemak-lemak diperut gue ini tambah tebal.” Tara menunjuk perutnya yang mulai membuncit.
Sandy tertawa mendengar cerewetnya Tara. “Oke, bersiaplah sekarang. Kamu nggak usah khawatir soal tugasmu membereskan flat kita. Biar aku saja yang mengerjakannya. Bersiaplah sekarang dan segera temui lelaki itu. Ergh, siapa tadi namanya? Kamu belum menyebutkannya.”
Kening Tara berkerut heran. Meskipun begitu ia menjawab pertanyaan Sandy. “Lionel. Namanya Lionel.” Tara menekuk keningnya lagi. Kali ini sambil menyipitkan mata. “Bukankah lo tadi nyuruh gue beresin flat? Kenapa sekarang jadi berubah pikiran?”

***

Tara memasuki sebuah kafe di daerah Gangnam dengan langkah ragu. Ia menoleh ke kanan-kiri berharap seseorang segera mengenalinya lalu menyapanya. Kafe itu tampak ramai di jam-jam makan siang seperti ini.
Lalu tiba-tiba Tara merasakan sesuatu menabraknya dari belakang. Tara terhuyung dan hampir jatuh terjerembab saat itu juga, tapi dengan sigap ia menjaga keseimbangan tubuhnya agar tidak jatuh. Tara sebal. Ia buru-buru berbalik, ingin melihat kekacauan apa hingga seseorang menabraknya. Apa ia tidak bisa melihat ada Tara yang berdiri didepan pintu seperti ini?! ia benar-benar marah dan ingin langsung mendamprat siapapun yang berani mengganggunya hari ini.
Begitu Tara berbalik, ia sudah mendapati seorang pria jangkung membungkukkan badannya berulang-ulang untuk meminta maaf atas perbuatannya tadi. Dan barulah ketika pria itu menegakkan tubuhnya, Tara bisa melihat jelas bagaimana wajahnya. Sebagaimana wajah orang Asia yang selalu menarik perhatiannya. Kulitnya putih, tapi bukan putih pucat. Matanya kecil, dengan alis menukik ke atas. Dan yang paling menarik, ia memiliki hidung tinggi dan mancung. Tara tertegun. Niatnya untuk mengomel atas aksi ‘tabrak mautnya’ tadi urung ia lakukan. Ia terlalu terkejut atas pemandangan didepannya.
I’m sorry…” lelaki itu mengucapkan maaf dalam bahasa Inggris. Mungkin ia mengira, Tara bukan orang Korea, sehingga lebih baik ia berbicara dalam bahasa Inggris. “Sekali lagi aku minta maaf. Aku tak sengaja.”
Suara rendah lelaki itu membuyarkan lamunan Tara. Tara hanya mengangguk lalu tersenyum kikuk. Ah, bodohnya… harusnya ia katakan sesuatu. Tidak hanya mengangguk dan tersenyum seperti orang bodoh begitu. Ah, tapi apa? Otaknya seolah kehabisan tenaga untuk berpikir. Oh, oh, tunggu… tapi sepertinya Tara merasa tidak asing dengan wajahnya. Dimana? dimana ia pernah melihat lelaki itu? Sebelum Tara berpikir lebih lanjut, terdengar suara lain yang berbicara.
“Lee Ji-Hoon? Ada apa? Kau sudah… lho? Astaga, Mademmosiele Dupont!” pekik suara dari arah lain membuat Tara seketika berpaling, dan ia langsung mendapati Lionel dengan rambut gondrongnya yang pirang datang menghampiri.
Tara menyambutnya dengan senyuman. Tak ada yang berubah dengan wajah lelaki itu. Hanya rambutnya yang panjang dengan potongan style harajuku. “Bonjour. Sudah lama menungguku, Lionel?Comment allez-vous? (apa kabar?)” Tara menjabat tangan Lionel yang terulur.
“Baik sekali. Aku tak menyangka kau masih tetap cantik seperti dulu, sayang.” Pujinya lalu Lionel beralih pada seorang lelaki yang menabrak Tara tadi. "Ji-Hoon, kenapa kau berdiri didepan pintu seperti itu?" tanyanya dengan nada heran.
Lelaki yang dipanggil Ji-Hoon itu mendongak menatap Lionel. "Ehmm… Aku tak sengaja menabrak nona ini tadi. Karena itu aku berada disini."
"Oh, begitu rupanya. Kebetulan sekali, aku memang sedang menunggu kalian berdua. Tapi aku tak menyangka jika kalian datang di waktu yang bersamaan. Nah, Ji-Hoon, kenalkan, ini Tara, temanku saat masih kuliah dulu. Dan Tara, ini Lee Ji-Hoon, kau tentu sudah familier dengan wajahnya, bukan?"
Tara terperanjat sekali lagi. Kenapa Lionel bisa memahami perasaannya? Selanjutnya Tara makin penasaran dengan lelaki ini. Siapa dia? Dan kalau memang pernah bertemu, dimana? Ia benci dengan rasa penasaran yang menghantuinya seperti ini. Ia harus segera menemukan jawabannya. Secepatnya!
Tara menatap tangan Ji-Hoon yang terulur kedepan, kemudian ia segera menjabatnya. "Tara."
"Baiklah, kurasa makan siang bertiga tidak akan ada masalah. Ayo, aku sudah menyiapkan mejanya." ajak Lionel sembari berbalik menuju salah satu meja kosong.
Begitu pelayan datang, mereka menyebutkan pesanan satu persatu lalu saat pelayan itu pergi Lionel menatap Tara lalu berbicara. "Jadi, sudah berapa lama kau tinggal disini? Kenapa tak langsung menghubungiku? Kenapa baru sekarang? Aku bahkan tak sengaja mendengar berita dari Sebastien bahwa kau sedang di Korea." tanya Lionel dengan nada kesal.
"Yah, sudah sekitar enam bulan aku disini. Aku tinggal di flat sepupuku. Dan aku ingin berlibur saja disini. Mencari hiburan. Lalu kenapa aku harus menghubungimu? Memangnya kau siapaku? Aku sendiri saja tak tahu kau sedang tinggal disini. Usai wisuda saja kau langsung menghilang tanpa jejak. Kukira saat itu kau sudah menikah lalu tinggal di kutub utara. Aku benar-benar tidak tahu sama sekali kabar keberadaanmu."
Lionel tertawa, “Hey, menikah? Kau ini ada-ada saja. Harusnya kau tahu jika aku sedang berada di Korea. Namaku sudah terkenal disini. Kau harusnya mengenaliku.”
Tara tidak terima, ia langsung membalas kalimat Lionel. Dan begitu seterusnya. Mereka baru berhenti bertikai saat pelayan mengantarkan pesanan datang. Setelah itu, mereka berdebat lagi.
Ji-Hoon memandang keduanya dengan geli. Ia tidak merasa diabaikan. Malah ia dengan khidmat mengikuti setiap kalimat yang dilontarkan Tara. Suaranya merdu, dan terdengar ceria. Ji-Hoon mengamati gadis yang duduk dihadapannya dengan hati-hati. Dari awal pertemuan mereka, Ji-Hoon sudah menyukai gayanya. Gayanya berpakaian, gayanya berbicara dan gayanya...
"Ji-Hoon, halo, kau mendengarku?"
Suara Lionel membuyarkan lamunan Ji-Hoon. "Ah, ya, ada apa?"
"Tara tadi menayakan, kenapa wajahmu itu seolah familier baginya? Apa kau mau aku menjawabnya?"
Ji-Hoon tersenyum simpul. Lalu menatap Tara yang juga sedang menatapnya penuh rasa ingin tahu. "Kau pernah melihatku? Dimana?"
Tara mendesis sebal. "Karena itu aku bertanya padamu. Aku lupa. Setidaknya, mungkin kau juga pernah melihat aku."
Ji-Hoon tersenyum lebar, dan untuk pertama kalinya Tara tahu bahwa mata kecil Ji-Hoon semakin menyipit membentuk sabit saat ia sedang tersenyum lebar seperti saat ini.
"Sungguh, aku tidak pernah merasa bertemu denganmu. Kapan dan dimana? Aku kira itu hanya perasaanmu saja,” kata Ji-Hoon lalu menunduk menyantap makanannya.
Tara jadi semakin aneh. Betul, ia pernah mengenalinya. Entah dimana… tapi, kenapa kondisi seperti ini makin mengingatkannya pada Tatsuya? Tatsuya yang familier dikepalanya, dan ternyata memang mereka pernah bertemu sebelumnya. Dan sekarang… ini seperti sepotong kisah masalalu yang terulang kembali. Kenapa kenangan itu kembali muncul lagi? Dadanya kembali terasa sesak dan sakit mengingat itu. Setelah menunduk, meredam gejolak hatinya yang tiba-tiba datang dan memejamkan mata kuat-kuat, Tara kembali bersuara nyaring sambil tersenyum lebar. “Aku mau desert puding stroberi disini. Kelihatannya sangat enak. Boleh, kan?”

***


Mobil sedan hitam merapat ke pinggir jalan dan berhenti tepat didepan flat bertingkat empat. Didalamnya, ada Tara dan Ji-Hoon tanpa Lionel. Karena saat akan pulang tadi, Lionel mendadak mendapat telepon dari rekan kerjanya untuk segera kembali ke studio karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Dan sebagai permintamaafannya, Lionel menyuruh Ji-Hoon untuk mengantarkan Tara pulang. Awalnya Tara enggan, tapi melihat sikap hangat Ji-Hoon dan kelihatannya mereka sudah mulai tampak akrab walau baru beberapa jam berkenalan, akhirnya Tara mau.
“Jadi, ini flatmu?” tanyanya sambil memandang lurus flat berwarna merah tua melalui kaca mobil.
“Ya, seperti itulah. Kau tidak ingin mampir?” tawar Tara. “Siapa tahu kau berbakat jadi  pembantu rumah tangga. Lumayan jika kau bersedia membersihkan flatku.” Gurau Tara. Ji-Hoon langsung tertawa keras.
“Boleh, boleh. Kapan-kapan aku akan mengunjungimu. Seusai membereskan pekerjaanku ini, aku akan datang tapi bukan untuk membersihkan flatmu, Tara.”
Tara mengernyit heran sambil mengulum senyum. Padahal dia hanya bercanda, tapi Ji-Hoon menganggapnya serius dan benar-benar berniat mengunjunginya.
“Oke, kalau begitu… terimakasih atas tumpangannya. Dan maaf jika aku merepotkanmu.”
“Tidak masalah.” Ji-Hoon tersenyum sambil mengangkat sebelah tangannya.
Tara baru membuka pintu mobil namun gerakannya tertahan. “Tunggu…” gumamnya. Lalu menatap lelaki disebelahnya dengan penasaran. “Kau tidak mau mengatakan sesuatu padaku, seperti… apa kau pernah melihatku sebelumnya? Atau apa kita pernah bertemu? Aku benar-benar tak akan bisa tidur jika kau belum menjawabnya. Karena aku yakin pernah melihatmu sebelumnya.”
Ji-Hoon tersenyum penuh misteri, membuat Tara semakin sebal dengan senyumnya itu. “Kau pasti akan menemukan jawabannya. Cepat atau lambat. Atau kau bisa menanyakan di Google. Kurasa dia tahu semua tentangku. Selamat mencoba…”
Tara akhirnya keluar dari mobil Ji-Hoon dengan enggan. Setelah melambai dan mengucapkan selamat tinggal, Tara berbalik menaiki tangga flatnya yang terletak di lantai 2. Tara meraba-raba saklar ruang tamu dan seketika ruangan menjadi terang. Tara heran pada Sandy, yang selalu betah dengan ruangan berkondisikan redup seperti ini. Benar-benar gadis hemat listrik!
“Tara… kamukah itu?” Sandy berteriak dari arah dapur.
“Iya… gue sudah pulang.” Balas Tara. Ia berjalan menuju dapur dan menemukan Sandy sedang membaca tabloid dengan ekspresi serius di meja makan.
“Kamu jadi pulang bersama siapa tadi?” tanya Sandy tanpa mengalihkan perhatian dari tabloid yang dibacanya.
Tara mencomot sepotong Hotteok hangat (semacam pancake) dari meja lalu melahapnya. “Bareng temen.” Kata Tara dengan mulut penuh Hotteok.
“Siapa? Teman kuliahmu itu?” Sandy masih serius membaca.
Tara mengunyahnya cepat, menelannya lalu berbicara kembali. “Bukan. Kali ini lain. Gue ketemu dan kenal barusan. Namanya Lee Ji-Hoon. Gue jadi penasaran sama tuh cowok, gue yakin lho pernah liat dia. Tapi dimana, gue lupa.” Kata Tara dengan nada menerawang.
Sandy sontak mengangkat wajahnya dari tabloid lalu menatap Tara lekat-lekat. “Kamu bilang apa tadi? Coba ulangi siapa namanya?”
Tara memasang tampang polosnya. “Lee Ji-Hoon. Lo kenal?”
Sandy seketika memekik keras membuat Tara terkejut setengah mati. “Apa ada yang aneh dengan nama itu? Memang dia siapa? Penjahat? Pencuri? Teroris? Katakan sesuatu, dia siapa? Jangan berteriak kayak gitu deh!! Bikin gue penasaran aja. Sandy!? Jawab dong!” bentak Tara sebal.
Sandy berhenti berteriak lalu membuka-buka lembar-lembar tabloidnya dengan kasar, seperti kesetanan. “Mana ya, mana ya dia??? Aku tidak menyangka kamu bisa bertemu dia, berkenalan, mengobrol dan mengantarmu pulang! Astaga, Tara… dia itu Nicky Lee, pewaris Cover Entertainment, dan salah satu personel boy band Korea yang terkenal. Tapi berita akhir-akhir ini menyebutkan ia keluar dari boyband yang telah membesarkan namanya karena ia ingin meneruskan kuliah S2-nya di luar negeri. Aduh, Tara… kau bodoh atau polos sih? Nah ini, dia! Ini!!” Sandy kembali memekik keras lalu mengangsurkan tabloid itu ke hadapan Tara. Tara masih melongo tak mengerti. Bicara apa Sandy itu? Memangnya yang bernama Lee Ji-Hoon hanya dia? Dia yang dimaksud Nicky Lee itu?! Siapa tahu, kan hanya namanya saja yang sama namun orangnya berbeda. Lagipula Ji-Hoon yang dikenalnya tak tampak seperti artis. Oke, Tara mengakui jika ia tampan, namun lihat, Ji-Hoon memiliki sikap yang hangat, bersahabat, dan ia bahkan tak memiliki pengawal pribadi untuk menemaninya. Apa itu tampak seperti seorang artis?
Tara cepat-cepat mengamati tabloid dihadapannya dengan seksama. Sebuah berita yang berjudul, ‘Nicky Lee hengkang dari boyband dan pilih kuliah’. Dan Tara semakin tertegun saat disamping judul itu tertera gambar seorang lelaki yang sedang tersenyum ramah pada kamera wartawan. Matanya menyipit membentuk sabit saat ia tersenyum. Hanya sekilas saja melihatnya, Tara langsung yakin, itu… Lee Ji-Hoon yang telah mengantarkannya pulang tadi.
Tara mendesis, dan menutup mulutnya tak percaya. “Astaga… jadi…”
“Tentu saja, kamu pernah melihatnya. Bukan bertemu, tapi melihatnya di majalah tabloid, Koran atau televisi. Aduh, Tara… aku tak menyangka. Lihat, kamu bahkan nggak tahu kalo dia artis. Apa kamu nggak bisa bedain artis dengan rakyat biasa? Dia tampan luar biasa, kan? Nggak hanya tampan, tapi dia juga baik, dan ramah pada semua orang. Kupikir, kamu sangat beruntung. Beruntung sekali!”
Tara masih memandang berita dan gambar di dalam tabloid tersebut tanpa menggubris Sandy. Seperti yang ia pikirkan tadi, Ji-Hoon memang tampak begitu hangat dan bersahabat sekali untuk ukuran seorang artis terkenal. Tara memikirkannya sekali lagi. Hidup ini benar-benar penuh kejutan.

***

Lionel sedang asyik dengan komputer dihadapannya saat Nicky Lee memasuki ruangannya lalu mengambil kursi disebelahnya. Ia mengamati rekan kerjanya sekaligus asisten produser ayahnya itu sedang bekerja.
“Hey, kau sibuk?”
“Ya, seperti yang kau lihat,” jawab Lionel tanpa mengalihkan perhatian pada layar didepannya.”aku sedang ingin melakukan pengaudisian ulang agar band-band pendatang baru ini benar-benar memiliki mutu bagus untuk masuk kedalam industri hiburan. Ada apa, Ji-Hoon? Kau sudah mengantarkan Tara pulang?”
“Ya, kau tak perlu khawatir, dia akan pulang dengan selamat selama bersamaku. Ah, aku jadi ingin bertanya, aku lupa tak meminta nomor teleponnya. Apa kau memilikinya?”
Lionel tertawa geli. “Kenapa? Ada apa kau tiba-tiba ingin meminta nomor teleponnya? Urus saja dulu Choi Soo-In mu itu. Dia bisa mati cemburu kalau ia tahu kau sedang tertarik dengan seorang gadis lain.”
Nicky Lee cemberut sambil mendengus keras. Ia teringat pada salah seorang penyanyi muda berbakat, Choi Soo-In yang tampaknya sedang tergila-gila padanya. “Soo-In bukanlah pacarku dan aku tak mencintainya. Kau harus tahu itu. Ayolah, Lionel, kau itu sahabatku, dan kau harus tahu perasaanku sekarang.”
“Apa? Kau ingin bilang kalau Tara sudah menarik perhatianmu?”
Nicky berhenti merengek, lalu berbicara dengan pandangan menerawang. “Aku… kurasa begitu. Dia… dia sangat menarik perhatianku dan aku langsung mengagumi gayanya diawal pertemuan kami.”
“Baiklah. Biarkan aku bekerja dan mengetik laporan ini, setelah itu barulah aku akan mengabulkan permohonanmu.”
Wajah Nicky langsung berseri-seri lalu ia menghambur memeluk temannya itu sambil mengucapkan terimakasih banyak berulang-ulang. Sementara orang yang dipeluk, menarik diri dengan enggan. “Hey, jangan sembarangan kau memelukku. Kalau ada wartawan yang melihat, bisa-bisa kita dicap gay!! Sudahlah, pergilah dan jangan ganggu aku lagi.”

***

Tara baru akan turun dari bus ketika ponsel disakunya berdering keras.
“Hallo…” sapanya begitu ponsel menempel ditelinga.
“Tara…” suara rendah itu langsung membuat Tara tertegun. Tara menurunkan ponsel dari telinga lalu menatap layarnya. Astaga, ia baru sadar telah mengangkat nomor yang tidak ia kenalnya.
“Siapa?” tanya Tara langsung.
“Kau lupa dengan suaraku?” Tara mengernyit. Lalu membiarkan lelaki itu meneruskan bicaranya. “Aku Ji-Hoon. Maaf. Kemarin aku meminta nomor teleponmu pada Lionel. Kuharap kau tidak marah.”
“Ohh… Ji-Hoon.” gumam Tara. Tentu saja ia terkejut karena Ji-Hoon meneleponnya. Eh, bukan, Nicky Lee, mantan personel boyband, seorang calon mahasiswa S-2, dan pewaris Cover Entertainment. Ia mencoba mengutip kalimat Sandy. “Apa kabar?” Tara melangkahkan kaki keluar dari bus lalu berjalan menyusuri trotoar yang penuh sesak pejalan kaki.
Tara bisa merasakan Ji-Hoon tersenyum disana. “Baik. Kau sendiri?”
“Baik. Tapi sedikit lelah. Aku baru saja pulang dari kursus Bahasa Korea dan sedang dalam perjalanan pulang. Kau tidak sibuk? Kenapa tiba-tiba meneleponku?”
“Aku baru saja pulang dari studio tempatku bekerja, dan bertemu teman-teman lama. Tidak, aku hanya ingin mendengar suaramu. Karena itu aku meneleponmu. Oya? Kalau begitu sama, aku juga sedang dalam perjalanan pulang.”
“Begitu. Teman-teman apa? Apa kau tadi sedang menemui teman-teman boybandmu itu?” tanya Tara langsung dan membuat Ji-Hoon terdiam. Tapi sedetik kemudian ia tertawa.
“Jadi kau sudah tahu siapa aku?”
Tara menyipitkan mata. “Ya, untunglah, tak lama setelah pertemuan kita aku sudah menemukan jawabannya. Beruntung karena aku tak jadi mati penasaran dan bisa tidur pulas malam harinya.”
“Bukannya aku ingin menyembunyikan identitasku. Aku hanya takut kau mempermasalahkan hal itu. Biarlah kau sendiri saja yang tahu siapa aku. Aku tidak terlalu suka dengan pandangan orang pertama kali jika aku artis. Tapi sekarang tak masalah. Kau tahu, aku bukan artis lagi. Aku sudah hengkang dan aku ingin menikmati kebebasanku sekarang.”
Tara mendengus. “Hei, apa menurutmu kalau kau bukan artis tak akan ada fans yang mengejarmu? Pasti ada. Dan mereka pasti menyayangkan dengan keputusanmu itu.” Tara berbelok di tikungan jalan sambil terus mengobrol.
“Aku hanya ingin meneruskan hidup dengan baik, Tara. Melalui cara yang aku mengerti dan aku yakin.”
“Aih, baiklah, baiklah. Tapi kalau aku jadi kau, aku akan bertahan. Karena menurutku, tak mudah untuk seseorang mendapatkan tempat sepertimu. Sekarang kau akan kemana? Apa masih dijalan?”
“Aku ingin bertemu denganmu. Kalau kau tidak lelah. Tapi jika kau lelah, aku akan segera pergi dari flatmu.”
Tara membelalak kaget. “Apa? Kau sedang di flatku?”
“Bukan. Bukan didalam. Aku sedang diluar flatmu. Menunggu kedatanganmu.”
Otak Tara seolah kosong. Tapi penglihatannya tidak. Ia menangkap mobil sedan hitam terparkir tepat didepan flatnya. Tidak salah lagi, itu milik Nicky.
Astaga… desis Tara tak sadar. Ia berlari-lari kecil menghampiri sedan hitam itu, lalu melongok kearah kaca kemudi. Sedetik kemudian pintu kaca menurun, memperlihatkan Ji-Hoon dibalik kemudi dengan kacamata hitamnya sambil tersenyum lebar. Tara terlongo-longo.
“Astaga, Nicky!!” pekik Tara. Ji-Hoon makin melebarkan senyum sambil melepas kacamata hitamnya. Seperti biasa, matanya ikut menyipit saat ia tersenyum begitu.
“Baru kali ini kau memanggil nama panggungku. Rupanya kau langsung melacak identitasku begitu kau tahu siapa aku.”
Tara tidak mengacuhkan omongan Ji-Hoon, ia menatap lelaki itu lekat-lekat dengan pandangan bertanya. “Kenapa kau disini? Kenapa tidak mengatakan padaku kalau kau sudah menunggu didepan flatku?”
“Tidak masalah. Aku baru saja sampai disini. Aku hanya ingin bertemu sebentar, dan mengajakmu jalan-jalan kalau kau mau. Dan kalau kau lelah, aku tidak akan memaksa dan segera pergi darisini tanpa perlu kau usir.” Kata Nicky dengan nada bergurau.
Tara langsung melebarkan senyum. “Tak masalah. Aku tidak akan kehabisan energi hanya karena kursus Bahasa Korea. Ayo, akan kemana kita nanti? Aku lapar. Bagaimana kalau kita makan dulu baru jalan-jalan. Sepupuku sedang tidak ada dirumah dan pasti aku akan suntuk jika dirumah terus.”
***

Seusai puas makan Bulgogi di restoran sederhana pinggir jalan, Nicky mengajak Tara berjalan-jalan di pusat perbelanjaan Myeongdong. Tara senang bukan main saat setelah mengetahui tempatnya. Mereka melihat-lihat barang-barang yang dijual disana dan dengan sabar Nicky menemani Tara membeli berbagai macam pernak-pernik lucu. Sesekali Tara meminta pendapat Nicky tentang barang yang ingin dibeli. Dan setelah kedua tangannya penuh dengan kantong belanjaan, Tara menghentikan aksi belanjanya yang gila-gilaan kalau tidak mau keberatan membawa semua barangnya.
“Tara, biar aku saja yang membawakan kantong belanjamu. Sini…” Nicky mengulurkan tangannya dan Tara langsung mencegah.
“Jangan. Tidak usah. Aku tidak ingin merepotkanmu. Lagipula ini tidak terlalu berat kok.”
Namun tiba-tiba ponsel disaku Tara berbunyi, membuatnya makin dalam posisi kesulitan karena kedua tangannya membawa kantong belanja.
“Apa kubilang. Tidak apa. Biar aku saja yang membawanya.” Nicky mengulurkan tangannya lagi, dan Tara langsung menyerah. Ia mengambil ponsel disaku dengan sebelah tangannya yang bebas.
“Halo…” sapa Tara tanpa melihat ke layar siapa yang menelepon. Hh, karena si penelepon inilah akhirnya Tara menyusahkan Nicky untuk membawakan sebagian barangnya. Namun seketika mata Tara melebar mendengar suara si penelepon. Bibirnya terangkat membentuk seulas senyum. “Sebastien!”
Nicky langsung menoleh kearah Tara yang sedang menelepon disampingnya. Sebastien? Tentu saja Nicky sangat yakin itu nama seorang lelaki. Siapa dia? Apakah dia pacar Tara? Benarkah? Kalau bukan, kenapa Tara begitu bahagia mendengar suaranya?
“Apa kabar?” Tara mengucapkannya dalam Bahasa Perancis. Walau tidak mengerti artinya, Nicky terus mendengar Tara berbicara. “Aku baik… bagaimana kabarmu?... Ah, Élise akan menikah? Benarkah? Aku sangat senang mendengarnya… begitu?... sampaikan salamku padanya… aku janji akan datang ke resepsinya nanti… kau dimana?... apa? sedang berkencan dengan kekasihmu yang baru??... aku juga… ah, tapi dia bukan pacarku… hanya jalan-jalan… ya, begitulah… aku sangat senang berada disini. Baiklah… kutunggu teleponmu lagi. Daaah…” Tara mematikan ponsel.
“Siapa?” tanya Nicky begitu Tara menutup ponselnya. Ia tak sadar tubuhnya menegang menunggu jawaban Tara.
“Ah, dia… sahabatku di Perancis.” Entah kenapa setelah mendengar hal itu perasaan Nicky menjadi lega. Lega sekali. Sebastien hanya sahabat Tara. “Dia mengatakan kalau Élise akan menikah. Ah, senang sekali aku. Eh, ngomong-ngomong, kau tidak tahu menahu soal Élise ya? Kau bahkan tak mengenalnya, kenapa aku jadi bercerita.” Tara tertawa renyah. “Aku terlalu bahagia mendengarnya…”
“Tidak masalah, Tara. Aku suka mendengarmu berbicara.” Nicky menatap gadis yang berjalan disampingnya lekat.
“Eh, Nicky…” Tara memandang berkeliling. “kenapa aku daritadi tak menyadari. Banyak sekali yang melihat kearah kita. Aku baru ingat kalau kau dulunya artis. Menakjubkan sekali jika aku bisa jalan-jalan dengan mantan artis sepertimu. Pasti aku berhasil membuat mereka iri. Iya kan?”
Nicky tertawa kecil. “Kau ini lucu sekali. Biarkanlah, selama mereka tak menganggu dengan jalan meminta tanda tangan atau melukaimu karena mengira bahwa kau adalah gandenganku yang baru. Selama itu tidak terjadi,” Nicky menatap Tara. “itu tak akan jadi masalah.”

***

Hari-hari selanjutnya, adalah hari-hari yang penuh warna bagi Tara. Kencan, makan, jalan-jalan, berfoto, berbelanja, hingga nonton ia lakukan bersama Nicky Lee alias Lee Ji-Hoon. Jujur saja, Tara terkesan dengan sikap Nicky yang hangat dan sopan itu. Tapi Tara tak bisa memungkiri, semakin ia dekat dengan Nicky, semakin ia menemukan sosok Tatsuya dalam diri Nicky. Apa yang ada dipikirannya? Wajah Nicky saja sangat berbeda dengan Tatsuya. Apa yang membuat Tara selalu menemukan Tatsuya dalam diri Nicky? Tara lelah. Lelah dengan hatinya yang selalu merasakan nyeri. Lelah dengan otaknya yang tak berhenti memikirkan Tatsuya.
Sebutir airmata jatuh membasahi pipinya lalu cepat-cepat ia usap dengan kasar. Ia tidak ingat lagi sejak kapan ia berhenti menangis, meratapi kenyataan dan takdir. Ia tak ingat. sepertinya ia sudah lama tidak menangis lagi. Harusnya sekarangpun ia tidak boleh menangis.  Ia berjanji, ia tak akan menangis lagi. Setelah kejadian itu… ia hanya bisa merasakan Tatsuya dihatinya. Walau rasa sakit itu masih ada… meski tak seburuk sekarang. Tapi sekarang, saatnya Tara menyiapkan diri menghadapi kenyataan. Enam bulan disini harusnya menjadi persiapannya untuk menghadapi Paris kembali. Dan ia masih belum tahu, apakah ia sudah siap untuk itu.
Sandy menyentuh pundak Tara, mengembalikan lagi Tara ke bumi. “Bagaimana?” tanyanya lirih.
Tara mendongak, memperlihatkan wajahnya yang memerah dan matanya yang berair. Lalu dia berkata dengan suara serak. “Papa sakit dan lagi dirawat dirumah sakit sekarang. Gue udah pesen tiket pesawat dan dua hari lagi gue balik.” Tara muram memandang kosong ke depan. Pagi tadi ia mendapat telepon dari Sebastien dan ia mengabarkan soal itu.
Sandy memeluk Tara seolah ia tahu Tara sedang mencoba menghadapi kenyataan terberat. Ia tahu, Tara bukannya sedih dengan berita ayahnya sakit. Lebih dari itu. Sudah enam bulan Tara mencoba menata hidupnya disini. Dan sebentar lagi ia harus menghadapi kenyataan yang sesungguhnya. Kenyataan bahwa ia harus menghadapi Paris dengan segala kenangan didalamnya. Setiap sudut kota, bangunan, museum, taman-taman kota, semuanya… seolah meneriakkan nama Tatsuya, menceritakan segala hal yang pernah Tara lalui bersama lelaki itu. Tara takut. Ia terlalu takut untuk menghadapi Paris esok hari.
“Gue harus ngabarin Nicky soal ini…” gumam Tara.

***

Wajah Nicky berubah muram saat Tara mengabarkan hal itu. Ia terkejut, sehingga tak ada kata-kata yang keluar darisana. Sejenak mereka diliputi keheningan. Sebelum akhirnya Nicky menyahut dan berkata. “Jujur, Tara… aku terkejut.” Tara menoleh ke arah Nicky, lalu tersenyum masam.
“Ya, aku juga terkejut dengan keadaan Papa yang tiba-tiba drop. Mungkin dia terlalu lelah dengan pekerjaannya di kantor.” Tara mendesah panjang sebelum melanjutkan. “Harusnya aku tahu, cepat atau lambat aku harus kembali ke Perancis. Aku tak boleh terlalu lama disini. Papa membutuhkanku. Dan dia pasti sedih karena aku pergi terlalu lama.”
“Bukan… bukan itu. Lebih dari itu. Aku sedih…” kata Nicky tiba-tiba. Tara mengernyit kearahnya. “Aku sedih… harusnya aku tahu, cepat atau lambat kau akan pergi. Dan aku terlambat untuk menyadarinya.”
Tara masih mengernyit tak mengerti dengan arah pembicaraan Nicky. Melihat itu Nicky cepat-cepat menambahkan. “Aku harus mengatakannya, meskipun kau tidak percaya. Tapi aku harus mengakuinya. Kau orang yang menarik, dan aku… Aku mencintaimu, Tara Dupont.”

***

Tara melangkahkan kakinya dengan galau di bandara Charles de Gaulle. Ia merasakan tubuhnya menegang setelah ia menyadari kakinya menyentuh tanah airnya. Rasanya lain, walau bandara ini tak terasa asing baginya. Kenangan itu… ah, pikiran macam apa itu? Tara cepat-cepat menyingkirkannya jauh-jauh. Tatap ke depan Tara, jangan terbelenggu dengan masa lalu itu… hati kecilnya menyuarakan. Setelah memejamkan mata erat-erat, Tara melangkah cepat keluar dari Bandara lalu menuju ke rumah sakit tempat ayahnya dirawat dengan mengendarai taksi.
Papa baik-baik saja. Setidaknya itu yang ia tangkap begitu melihat kondisi ayahnya dirumah sakit. Papa hanya terlihat lelah dan wajahnya sedikit pucat. Menurut dokter, Papa terserang typus yang belum akut dan hanya perlu beristirahat cukup.
“Papa, aku kira Papa sakit apa? Kalau tahu begini, aku tak akan rela terbang dari Korea ke Perancis. Aku masih ingin menghabiskan liburanku disana.” Tara pura-pura sebal.
“Kau ini. Kau meninggalkan Papa selama enam bulan, dan Papa kira itu tidak bisa disebut ‘liburan’. Ma chérie, tolonglah, jangan pergi lagi. Papa begitu kesepian disini. Tak ada yang mengantar Papa berangkat ke kantor jika ban mobil Papa kempes, tak ada yang menemani Papa makan siang, tak ada yang menghibur Papa. Kau begitu kejam, ma chérie.
“Tapi kan, masih ada wanita-wanita yang menemani Papa dan mengantar Papa kerja. Jadi selama ini Papa memanfaatkanku?”
Papa tertawa lebar.”Ma chérie, aku senang sekali melihatmu kembali cerewet. Itu sudah menceritakan bahwa kau bahagia disana. Daripada kau terus marah-marah, lebih baik ceritakan pengalaman apa saja yang kau alami disana…”
Tara mulai berceloteh. Menceritakan pemandangan alam Korea Selatan yang menakjubkan, penduduknya yang ramah, makanannya yang enak sekali, hingga perkenalannya dengan mantan artis bernama Nicky Lee. Seusai menceritakan Nicky Lee, Tara tertegun. Sekonyong-konyong otaknya mem-flasback perkataan Nicky sehari sebelum keberangkatannya ke Perancis.
“Aku harus mengatakannya, meskipun kau tidak percaya. Tapi aku harus mengakuinya. Kau orang yang menarik, dan aku… Aku mencintaimu, Tara Dupont.”
Tara menggigil mengingat itu. Ia mencoba tak memikirkan terlalu dalam perkataan Nicky waktu itu. Ia mendapat kesan jika pembicaraan Nicky waktu itu hanya lelucon. Saat Nicky mengantarkannya ke bandara, lelaki itu juga tak mengatakan apa-apa. Sama sekali tak membahas pernyataan cintanya waktu itu. Baiklah, mungkin Tara benar. Nicky Lee hanya bercanda dan ia tidak serius mengatakan itu. Sejauh ini, Tara juga tak merasakan perasaan khusus untuk Nicky.
Ma chérie, kau memikirkan sesuatu? Kenapa tiba-tiba diam?” tanya ayahnya bingung melihat Tara yang semula bercerita menjadi diam. Tara mendongak dan menyadari keterdiamannya.
“Ah, tidak. Aku hanya…” Tara merogoh tas tangannya mencari ponsel. “Aku ingin menelepon Sebastien dan ingin makan malam dengannya nanti. Baiklah, aku akan kembali kerumah sakit setelah makan malam. Daah, Papa…” Tara mencium kening ayahnya sebelum pergi.

***
Satu bulan kemudian,
Tara mengaduk-aduk nasinya dengan tak napsu. Ia menunduk, memandang kosong isi piringnya yang masih utuh. Sebastien mengernyit heran memandang gadis itu yang jarang-jarang kehilangan napsu makan dengan sate kambing didepannya. Karena penasaran dengan sikap Tara itu, akhirnya Sebastien bertanya.
“Ada apa? Kenapa tidak mau makan sate kambing? Bukankah itu makanan kesukaanmu?” Tara mendongak dengan wajah malas, memandang Sebastien di hadapannya. Lalu Sebastien kembali melanjutkan.  “Seharian ini kau agak diam. Kupikir setelah memakan sate kambing disini pikiranmu berubah ceria. Ada apa?”
Tara mendesah. “Sudah satu bulan aku disini…”
Sebastien memperbaiki letak kacamatanya tidak paham dan menunggu kata-kata Tara selanjutnya.. Tapi Tara tidak melanjutkan. Gadis itu tetap diam sambil mengambil setusuk sate kambing lalu menggigitnya.
“Lalu? Apa masalahmu?”
Gerakan Tara mengunyah tiba-tiba terhenti. Suara Sebastien itu merasuk ke kepalanya lalu memaksa otaknya bekerja. Hey, kenapa aku begitu lesu? Apa masalahku? Memangnya kenapa kalau sudah sebulan aku disini?
Setelah terdiam lama, Tara menjawab dengan nada muram. “Aku… aku ingin kembali ke Korea. Kurasa keadaan Papa sudah baik. Bahkan Papa sudah kembali bekerja.”
Sebastien mengangkat alis heran. “Apa? Kenapa? Kau mengucapkannya seolah Korea itu tanah airmu sendiri. Dan kau merindukan ingin pulang. Hey, Tara… ceritakan. Ada apa? Tak biasanya kau seperti ini.”
Tara merenung. Lalu bergumam. “Nicky Lee… aku ingin tahu bagaimana kabarnya. Dia berjanji akan datang mengunjungiku. Aku sudah berkali-kali meneleponnya tapi ponselnya tidak aktif. Dan dia tak pernah balik meneleponku.” Tara menarik napas panjang sebelum melanjutkan kembali. “Aku hanya ingin tahu… apa dia sudah mulai masuk kuliah atau belum. Bahkan aku tak tahu dia akan melanjutkan S-2nya dimana. Bodoh sekali, bukan.”
Sebastien semakin menatap Tara tak mengerti. “Nicky Lee? Siapa dia? Pacarmu?”
Tara mendongak menatap Sebastien lalu menggeleng cepat. “Tidak. Dia hanya kenalanku di Korea. Aku sendiri tak tahu kenapa akhir-akhir ini aku merindukannya.”
Sebelum sempat Sebastien menjawab, tiba-tiba Tara memekik. “Astaga, aku lupa…” dengan gerakan cepat, Tara berdiri lalu sibuk memasukkan semua barang-barangnya yang tergeletak di atas meja kedalam tas. Sebastien memperhatikannya dengan tatapan bingung. “Aku harus menemui Élise siang ini untuk siaran perdanaku setelah delapan bulan vakum. Aku memang sudah lama tidak bekerja lagi disana. Tapi entahlah, kali ini Élise tiba-tiba meminta bantuanku. Katanya radio kita akan kedatangan tamu dari luar negeri. Aku sendiri tak tahu tamu itu siapa. Dan menurutku itu hal yang bagus agar semangatku bekerja timbul lagi.” Tara menutup restleting tasnya lalu memandang ke arah Sebastien. “Kau mau mengantarkanku ke tempat siaran, bukan? Aku tak punya waktu banyak untuk naik Metro. Sungguh.”

***

Sebastien mengantarkan Tara hingga gadis itu tiba di depan pintu masuk ruang siaran.
“Apa perlu aku menjemputmu nanti?” tanya Sebastien.
Tara berpikir sejenak lalu menjawab. “Hmm… Tidak usah. Aku bisa naik Metro. Terimakasih sudah mengantarku.”
Sebastien tersenyum, mengusap puncak kepala Tara lalu menempelkan pipinya ke pipi Tara. “Hati-hati.” Ucapnya sambil lalu.
Setelah kepergian Sebastien, Élise datang menghampirinya dengan langkah tergesa sambil membawa sebuah map merah didadanya. “Astaga, Tara… kukira kau tidak datang. Maaf jika aku butuh bantuanmu mendadak. Aku sibuk mengurus pekerjaanku. Seharusnya Tiffany yang mengisi siaranMon Idole (idolaku) ini. Tapi ia mendadak mengajukan cuti hari ini dan aku terpontang-panting mencari penggantinya. Untunglah kau mau. Ya, semoga ini bisa mengobati para pendengar yang sedang merindukan suaramu.” Élise berkata bak kereta api ekspres tanpa jeda.
Memang, setiap satu minggu sekali, radio ini selalu mengusung tema Mon Idole yang mendatangkan para artis-artis untuk diwawancarai dan akan ada sesi telepon interaktif dari para pendengar. Tara memang tak berpengalaman untuk membawakan acara ini. Karena itu ia ingin mencoba dan menerima tawaran Élise untuk membantu. Ia sangat suka dengan hal-hal yang baru.
Élise mengangsurkan map merahnya pada Tara. “Ini… didalamnya sudah ada macam-macam pertanyaan yang harus kau tanyakan pada idola kita kali ini. Jadi, kau tak perlu merangkai kalimat lagi untuk bertanya. Kau paham, Tara?” Tara menerima mapnya sambil mengecek isinya lalu mengangguk kecil.
“Bagus, kalau begitu segera temui objek wawancaramu didalam. Dia adalah salah satu artis Korea yang terkenal. Dan banyak sekali pendengar yang meminta kepada kami agar mendatangkan artis itu. Kudengar fansnya cukup banyak bertebaran di Paris. Oke, aku akan menyusul nanti.”
Tara mengedikkan bahu, lalu masuk ke dalam ruang siaran yang sejuk. Tara baru hendak menutup pintu saat matanya menangkap seseorang yang juga tengah menatapnya di meja siaran. Gerakan Tara terhenti. Matanya menatap ke satu arah. Ke arah lelaki itu. Dan saat itu juga waktu serasa terhenti. Otak Tara seolah kosong saking terkejutnya.
Nicky Lee?

***

Nicky Lee duduk diam di depan meja siaran. Hatinya bergejolak, tak sabar menunggu gadis itu datang. Dia… gadis yang ia rindukan selama ini. Nicky menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, mencoba untuk tenang. Selama satu bulan ini, Nicky memang sengaja menon-aktifkan ponselnya. Ia ingin menelusuri hatinya lebih dalam. Dan akhirnya, Nicky sadar, ia sangat, sangat merindukan Tara. Ketika ia mendapat tawaran wawancara disebuah radio Perancis, Nicky langsung menerimanya. Ia juga mendapa info jika Tara pernah bekerja disana. Kemudian baru ia ketahui, seseorang yang bernama Élise tadi mengabarkan bahwa penyiar bernama Tara Dupont yang akan memandu acara Mon Idole ini. Hebat sekali! Dunia ini memang hebat. Nicky sudah tak sabar ingin melihat gadis itu kembali.
Saat matanya beralih ke arah pintu masuk yang terbuat dari kaca yang transparan, kepala Nicky mendadak nyeri. Serasa ada benda berat yang memukulnya. Ia melihat gadis itu disana. Ya, itu dia. Tara Dupont yang ia cari selama ini. Ia tak sendiri. Seorang lelaki disampingnya, membelai rambutnya lalu… oh, mencium pipinya. Nicky memejamkan mata erat-erat seolah ia tak menginginkan pemandangan itu. Ia mengernyit samar, lalu mengalihkan pandangannya. Kenapa? Apa aku terlambat? Apa kau pikir aku tak menepati janjiku? Apa kau sudah memberikan hatimu pada yang lain? Siapa lelaki itu? Kenapa kalian terlihat akrab? Berbagai macam pertanyaan singgah di kepala Nicky. Tapi ia mencoba untuk tenang. Setidaknya saat bertemu dia nanti, ia tidak terlihat kacau. Memangnya apa tujuannya datang kesini kalau tidak ingin melihat Tara. Melihat bahwa gadis itu baik-baik saja.
Beberapa saat kemudian, Nicky mendengar pintu kaca itu terbuka. Nicky mendongak memandang kearah gadis yang membuka pintu. Dan begitu mata mereka bertemu… Nicky bisa merasakan keterkejutan dalam diri Tara. Lama mereka saling pandang, lalu mata Tara berbinar. Tara menghampirinya dengan langkah riang.
“Nicky…”sapanya tertahan. Nicky berusaha mengontrol emosinya agar tidak langsung memeluk gadis itu. Nicky beranjak dari duduknya lalu menjabat tangan Tara yang terulur. Tara masih tak percaya dengan seseorang yang berada didepannya.
“Jadi kau…? astaga. Kata siapa dunia tak selebar daun kelor? Aku masih tak percaya kau ada disini…” Tara memperhatikan Nicky dari ujung rambutnya hingga ujung sepatunya.
Nicky mengedikkan bahu. “Aku memang sengaja ingin bertemu denganmu disini. Selama ini, aku mencarimu… dan aku mendapat info jika kau pernah bekerja sebagai penyiar radio disini.”
Sebelum berpikir lebih lanjut, Tara mendengar pintu terbuka lalu masuklah Élise. “Tara… siaran lima menit lagi. Bersiaplah…”
Tara mengacungkan jempol lalu mengedipkan mata kearah Nicky lalu duduk di meja siaran. “Kau beruntung karena bisa melihatku siaran secara langsung…” kata Tara sambil memasang headset.
“Ya, sangat beruntung. Telingaku akan segera dimanjakan oleh celotehanmu…”
Tara tidak mendengar kalimat Nicky barusan. Ia sibuk dengan peralatan radio didepannya. Lalu tak lama, seseorang memberi aba-aba dari balik ruangan yang hanya tersekat kaca transparan, memberi tanda bahwa siaran akan segera dimulai. Tara kembali mengerling kearah Nicky, lalu disambut Nicky dengan kedipan nakal. Tara tertawa sejenak lalu menyadari waktu siaran akan segera dimulai.
“Selamat sore pendengar… apa kabar? Aku harap kalian tidak melupakan suara nyaringku ini. Disini ada Tara Dupont yang akan membawakan acara khas kami, Mon Idole… pasti kalian penasaran siapa idola yang sedang duduk disebelahku ini? Daripada penasaran lebih baik kuputarkan sebuah lagu dari Anggun, La neige au Sahara…”
Begitu suara lagu terdengar, Tara melepas headsetnya lalu beralih pada Nicky yang tengah menatapnya sejak ia mulai mengoceh. Alis Tara terangkat. “Jangan menatapku seperti itu, Nicky. Kau cukup mendengarkan suaraku…”
“Apa salahnya aku melihatmu? Aku sudah lama tak melihatmu dan aku ingin menghabiskan waktuku walau hanya sedetik untuk melihatmu. Aku tak mau menyia-nyiakannya.”
Jantung Tara terasa hangat mendengar kalimat Nicky barusan. Selanjutnya, mereka mengobrol panjang lebar sambil diselingi tawa Tara saat Nicky menceletukkan lelucon. Élise yang sedang bekerja diruangan lain yang hanya dipisahkan oleh kaca transparan menggeleng heran. Kenapa dua sosok disana—seorang penyiar radio dan artis Korea terkenal—tampak begitu akrab? Apa Tara sudah pernah mengenalnya?
Usai lagu yang terputar habis, Tara kembali memasang headsetnya lalu bercuap-cuap didepan mikrofon. Memperkenalkan siapa idola yang akan mengisi acaranya ini.
Beberapa telepon interaktif dari pendengar mulai banyak yang masuk. Mereka kebanyakan menanyakan apakah Nicky Lee sudah punya pacar.
Nicky Lee tertawa saat mendengar pertanyaan itu. “Belum. Tapi, sepertinya aku sedang jatuh cinta pada gadis Perancis.”
Tara tertegun mendengarnya. Gadis Perancis? Apa Nicky Lee sudah menyukai seorang gadis disini?
Tara mengambil alih mikrofon, lalu membuka sesi wawancara dengan Nicky. Rasanya lucu sekali mewawancarai seseorang yang bahkan sudah dikenal Tara lebih dulu.
Tara membaca pertanyaan selanjutnya yang tertera di map merah yang di berikan oleh Élise tadi. “Ah, kudengar kau akan melanjutkan studi S-2 mu di Kanada. Apa itu benar?” saat itu juga Tara langsung tahu kemana Nicky melanjutkan studi S-2 nya.
“Ya. Aku memang berencana ingin melanjutkannya ke Kanada. Tapi setelah aku menemukan gadis yang kucintai disini, aku rela melepaskan universitasku disana dan pindah ke Perancis.”
Mata Tara menyipit. Ia penasaran. Ia ingin bertanya lebih lanjut, siapa gadis yang beruntung itu. Tapi di map merah ini tidak tertulis pengajuan pertanyaan seperti itu. Ah, sudahlah, semua gadis seantero Paris pasti sangat penasaran juga. Apa salahnya bertanya.
“Benarkah? Jadi kau merelakan segalanya demi gadis itu? Ngomong-ngomong, siapa gadis yang beruntung itu? Apa kau ingin menceritakannya pada kami?”
Alis Nicky terangkat. “Benarkah kau ingin tahu siapa dia?”
Tara mengangguk penuh semangat. “Tentu saja. Pasti banyak para pendengar yang sangat penasaran, bukan?”
“Baiklah akan kuceritakan. Gadis itu… dia sedang berada disampingku sekarang. Duduk dengan manisnya sambil menatapku dengan alis berkerut.” Nicky memberi jeda pada kalimatnya untuk tertawa. “Terimakasih untuk Tara Dupont. Kau satu-satunya alasan kenapa aku berada disini.”

***

Seantero Paris mendengarnya. Ya, semua pendengar berebut menelepon ke radio setelah acara itu selesai untuk memastikan apakah Nicky Lee tidak sedang bercanda.
Tara merenung. Memandang ke bawah. Ke arah jalanan yang dihiasi lampu-lampu mobil yang berlalu lalang. Juga gedung-gedung pencakar langit yang berlomba-lomba menerangi malam kota Paris. Perasaannya semakin galau dan kacau setelah perbincangannya dengan Nicky di radio saat itu. Tara masih belum mempercayai jika Nicky melakukan semua itu padanya. Sengaja datang untuknya, dan sengaja melanjutkan kuliahnya disini karenanya.
Tara memandang langit musim gugur yang sedang cerah. Ia sedang berdiri di atas Arc de Triomphe saat ini. Tempat terindah yang juga menyimpan kenangan pahit. Tara sudah kembali pada musim ini dan ke tempat ini seperti satu tahun silam. Ia kembali pada musim gugur yang sangat ia sukai. Namun entahlah, apakah sejak kematian Tatsuya ia masih menyukai musim gugur?
“Tara…” suara rendah itu membangunkan lamunan Tara. Ia menoleh dan menemukan Nicky berdiri di depannya. Kenapa lelaki ini selalu memberi kejutan di hidupnya?
“Nicky… bagaimana kau bisa tahu aku disini?” Tara heran.
“Aku menanyakan Sebastien dimana kau berada. Tapi ia tak tahu. Karena itu aku bertanya padanya, dimana tempat favoritmu. Dan Sebastien langsung menunjuk tempat ini.” Nicky berdeham lalu berdiri di sebelah Tara. “Ada sesuatu yang kau pikirkan?”
“Tidak. Aku hanya merindukan tempat ini. Sejak pulang dari Korea aku belum sempat mampir kesini.” Tara beralih menatap Nicky. “Kau kreatif sekali. Jelas, Sebastien tahu dimana aku berada melalui GPS rahasianya.”
Nicky tertawa. “Ya, dia selalu tahu. Aku semakin iri karena ia tahu banyak soal kau ketimbang aku.” Nicky tersenyum pahit. “Ya, karena dia sahabatmu, bukan?”
Sejenak keduanya saling diam sebelum akhirnya Tara menyahut. “Kau… apa benar kau akan melanjutkan studimu disini?”
Nicky menoleh kearah Tara lalu matanya menyipit seiring dengan senyumnya yang mengembang. “Ya… aku sudah pikirkan itu. Kupikir kampus di Perancis tak kalah bagus ketimbang Kanada. Selain itu aku bisa menemuimu setiap hari. Aku tak akan susah-susah untuk terbang jika ingin menemuimu.”
Tara tertegun lalu ia terdiam. Memainkan ujung tasnya sambil melamun. Melihat itu Nicky kembali melanjutkan dengan nada hati-hati. “Maaf.”
Tara mendongak, melihat wajah Nicky yang tiba-tiba berubah sendu. “Apa? Maaf karena apa?”
“Aku tahu… soal… Tatsuya Fujisawa…” melihat ekspresi wajah Tara yang berubah, Nicky cepat-cepat menambahkan. “Aku tahu dari Sandy. Sandy yang memberitahuku. Dan… aku bisa mengerti hal itu. Jadi kau tak perlu risau. Aku tahu, mungkin, kau masih mencintainya.”
Mata Tara melebar, lalu ia mendengus. Mengalihkan pandangannya. “Apa? Dia hanya kakak lelakiku. Jadi kau tak perlu takut akan hal itu…” Tara tersenyum pahit. “Dan aku hanya boleh menyayanginya sebagai saudara…”
Nicky menatap Tara. Ia menelan ludah, ketika dilihatnya wajah gadis itu berubah muram. Tiba-tiba gejolak hatinya semakin menjadi. Ia menarik napas sebelum melanjutkan. “Aku tahu.” Tara menatap Nicky, mendengar suara rendahnya berbicara. “Aku tahu. Aku bukannya ingin menggantikan posisi Tatsuya dihatimu. Bukan, bukan seperti itu. Mencintaimu saja sudah cukup dan mendengar suaramu saja sudah bisa membuatku tenang. Mungkin aku hanya perlu menunggu… dan berharap kau mau melihatku. Sungguh, aku tak memaksamu. Kalaupun kau mau… kalaupun kau mau membuka hati untukku, aku berjanji. Aku akan disampingmu selamanya. Cukup beri aku kesempatan untuk menunjukkan betapa pedulinya aku. Dan kau akan mengerti.”

***