Kamis, 05 April 2012

From Homestay With Love (CERBUNG)

Ini adalah sepenggal kisah klasik yang tak terlanjutkan. Maksudnya nih, cerita ini terbengkalai begitu saja di dalam dokumen laptop dan tak terjamah. Karena saya sudah malas untuk melanjutkannya, maka, saya putuskan untuk mempublish-nya satu-satu dalam bentuk cerbung. Karena pada awalnya cerita ini terangkum dalam bentuk novel. So, check this out.


Hani duduk melamun di bangkunya sambil mendengarkan Bu Mila, sang guru Sosiologi yang sedang menjelaskan sesuatu didepan. Kuping Hani serasa budeg nggak paham saking ngantuknya. Sesekali ia menguap, mengucek-ngucek mata dibalik kacamata silindris tipisnya. Tadi malam ia tidur kemaleman gara-gara Kak Vino—kakak sulungnya itu— ngajakin nonton liga Inggris. Bukannya Hani Gibol atau bagaimana. Hani bahkan nggak benar-benar menyimak acara itu dengan serius. Tapi, karena kakak lelakinya itu emang anti nonton sendiri. Ngakunya sih, nonton sendirian itu nggak enak. Padahal asli, Hani tau kalo Kak Vino itu sebenernya takut setan. Dia berubah jadi senewen kalo ada acara TV yang menayangkan film horror. Atau ketika kebetulan jalan melewati bioskop, trus ada pajangan poster film horror yang lagi premiere, wajah do’i langsung berubah jadi pucat pasi lalu pergi ngacir sejauh-jauhnya. Beda banget sama Hani yang suka banget sama tantangan dan situasi horror. Dia bahkan pengen banget jadi peserta uji nyali yang diadakan salah satu stasiun televisi. Nah lho?

Hani terpaksa menyetujui permintaan Kak Vino, karena dia udah nyogok Hani buat bantu ngerjain PR matematikanya. Hani yang nggak demen liat angka, tentu saja—walau dengan terpaksa—langsung menyetujui, sekalian belajar, pikirnya. Karena Bu Yati, wali kelasnya, udah mewanti-wanti agar nilai Hani nggak jeblok di awal tahun pelajaran kelas 12 ini. Masalahnya terletak pada predikat yang lagi nempel di jidatnya bertuliskan, ‘Hani siswi berprestasi SMA Golden Ways tahun ini’. Toeing!!!

“Hanania Selvani!!” panggil Bu Mila dingin namun tegas. Hani yang lagi ngelamun buru-buru memusatkan perhatian ke depan kelas. Spontan ia mengacungkan tangan kanan lalu berteriak.

“Hadir, Bu!!”

Sontak seisi kelas menyuarakan gelak tawa geli. Termasuk Gita, gadis yang menempati bangku di sebelahnya. Hani langsung berubah kaku. Ia mengernyit kearah Gita sambil menurunkan tangan kanannya perlahan. “Apa sih?” bisiknya perlahan. Gita menutup mulutnya sambil menahan tawa lalu mengedikkan bahu. Agh, rese!

“Siapa yang sedang mengabsen kamu?!” bentak Bu Mila. “Ibu ingin kamu mengerjakan soal di depan ini.” beliau masih membentak sambil mengetuk-ngetuk spidol di papan tulis. Hani garuk-garuk kepala. “Makanya, jangan ngelamun saja! Ibu heran, kenapa gadis semalas kamu bisa mendapat predikat siswi berprestasi tahun ini."

          Jantung Hani langsung cekot-cekot mendengar kalimat tajam dari Bu Mila. Mana gue peduli! Siapa juga yang mau dapet predikat begituan?

          Baginya predikat itu adalah kesalahan besar yang pernah dilakukan. Siapa tahu yang mencantumkan nama Hani itu lagi ngantuk hingga  salah. Siapa tahu, kan? Sumpah demi apapun, Hani benar-benar tidak nyaman dengan predikat yang disandangnya saat ini. Mendadak jadi artis terkenal dan menjadi perbincangan warga sekolah. Beban berat juga ditanggungnya seperti yang dikatakan Bu Yati yang mewanti-wantinya agar nilainya tidak jeblok hingga semester depan. Belum lagi jika mendapat omelan pedas dari guru ketika sikapnya tidak baik. Apa salahnya sih orang melamun? Grr...

          Hani tertunduk merasakan nikmatnya kepedasan ocehan Bu Mila.

          "Sepanjang sejarah saya mengajar, tak ada satupun siswa IPS yang bisa mendapatkan predikat siswi berprestasi. Namun tahun ini predikat siswi berprestasi dipegang oleh murid XII IPS. Jujur saja, saya sebagai pengajar kalian merasa bangga. Tapi yang harus kamu ingat Hani, saya akan pantau terus nilai kamu! Jadi jangan main-main dengan pelajaran saya! Mengerti!"

          Glek!

          "Mengerti, Bu." jawab Hani lirih.

          “Baik, sekarang kembali ke pelajaran. Dara, teori apa yang dicetus August Comte? Silakan maju dan jelaskan didepan!”

          Hani melihat sekilas wajah Dara yang jelita mendadak pucat. Meskipun nggak pernah kenalan sama Pak Comte dan nggak pernah tahu gimana wajahnya, paling tidak ada buku yang bisa mendiskripsikannya. Apa yang bisa dikerjakan oleh murid social kalo tidak menelan semua kalimat-kalimat panjang dibuku. Untunglah bukan Hani yang disuruh menjelaskan didepan, ia benar-benar tidak siap. Sueer!

          Pluk! Sebuah gulungan kertas mampir tepat di jidat Hani sebelum akhirnya mendarat mulus diatas meja Hani. Ia mendongak, memutar kepalanya 90 derajat dan menemukan Echa yang duduk di seberang mejanya sedang nyengir kearahnya. Hani cemberut, ia melotot sambil memberi isyarat lewat matanya, jangan-bikin-gara-gara-deh-lo. Lalu cepat-cepat ia menyembunyikan gulungan kertas itu kepangkuannya agar tidak ketahuan Bu Mila, lalu membukanya.

Haha… (ketawa setan) lo kenapa? Ngelamun mulu. Jadi kena semprot, kan!

          Hani meringis usai membacanya. Kurang ajar! Orang lagi kesusahan diketawain. Hani mengambil pensil lalu membalas SMS kertas dari Echa kemudian melemparkannya kembali. Echa menangkap gulungan kertas dari Hani dengan sigap, lalu buru-buru membukanya.

Gara-gara Kak Vino tuh, masa gw di ajak nonton bola. Ngantuk deh! ><

          Echa ketawa pelan. Lalu membalasnya.

Kak Vino?? Wah, titip salam ye. Gw kangen sama Kak Pino, nggak pernah kerumah lo sih. Pino, Pino… muach! :*

Hani mendengus usai membacanya. Udah nggak heran kalo sahabatnya itu kepincut sama Kak Vino. Siapapun deh, yang liat kak Vino, pasti langsung kesemsem. Karena keemberan mulut Echa itulah semua cewek sekelas tahu kalau Hani punya kakak yang cakep abis. Lebay banget, kan? Menurut saksi mata yang melihat sih, katanya Kak Vino itu miriiip banget sama Vino G. Bastian. Hani langsung ngakak pas denger penuturan mereka. Nggak ada mirip-miripnya kaleee… ujar Hani waktu itu. Selama berminggu-minggu setelah Echa mengumumkan itu, teman-teman sekelas Hani langsung berbondong-bondong dateng kerumah. Nggak lupa bawa sesajen pemikat hati. Ada yang bawa cokelat, kue kering, dan parsel. Alasannya buat belajar bareng. Padahal nyatanya cuman kedok buat curi-curi pandang Kak Vino. Hani sampe geleng-geleng kepala ngeliatnya.

Hani tidak membalas SMS kertas Echa yang terakhir. Nggak penting amat sih, batinnya. Selanjutnya, ia langsung berkonsentrasi mendengarkan si Bu Mila yang udah ngomel lagi karena penjelasan Dara nggak sesuai dengan harapannya. Hhh, Bu, Ibu… sabar ya, Bu.

“Hari ujian nasional akan diadakan Bulan Mei. Meskipun masih lama, bukan berarti kalian bisa santai-santai. Untuk itu, saya harap, kalian tetap belajar di weekend ini! Wassalam.” Ucap Bu Mila mengakhiri pidato didepan kelas. Sedetik kemudian bel tanda pulang berbunyi. Hebat sekali. selama mengajar, Bu Mila selalu begitu. Beliau mengakhiri pidatonya tepat sedetik kemudian bel berbunyi.

“Aih, ini hari sabtu ya?” gumam Hani sambil melepas kacamatanya lalu memasukkannya kedalam kotak khusus kacamata.

“Les Inggris lagi, ya.” Sahut Gita.

Hani manggut-manggut. Lalu tersenyum lebar. Hmm… hari ini les Inggris. Entah kenapa setelah menemukan tambatan hati yang tidak ia kenal disana, ia jadi keranjingan les Inggris. Namanya Joe. sebenarnya baru dua minggu kemarin Hani pertama kalinya melihat murid baru itu les Inggris. Kebetulan kelas mereka sama, sehingga Hani tahu jika namanya Joe. Yang membuat Hani kepincut sama tuh cowok adalah, wajahnya dan tubuhnya. Wajahnya cukup menerangkan kalau dia manusia blasteran. Tubuhnya jangkung, matanya hijau dan begitu Hani melihat, Hani langsung suka dengan matanya. Sayangnya, Hani nggak sempet kenalan banyak dengannya. Tampaknya dia pendiam dan tak banyak bicara. Hanya saja, Hani tahu dari petugas administrasi kalo Joe bersekolah di SMA Columbia Internasional. Hani langsung mangap kagum. Itu, SMA paling bergengsi di daerah ini. Bahasa pengantarnya saja menggunakan Bahasa Inggris. Murid-muridnya juga banyak yang berasal dari keturunan warga negara asing. Dan satu lagi yang disuka Hani, aksen Inggrisnya Joe begitu woow didengar. Sangat fasih dan lancar. Itu pula yang jadi pertanyaan di kepala Hani. Kenapa dia ikut les Inggris, ya? Nggak perlu les Inggris juga dia udah lancar berbahasa Inggris. Aneh nian.

Echa buru-buru menghampiri Hani yang sedang memasukkan barang-barang kedalam tasnya. “Yuk, makan karedok didepan dulu. Laper nih gue…”

Hani mengangguk patuh. Ini ritual yang dilakukan Echa tiap pulang sekolah. Makan karedok di emperan depan sekolah. “Tapi gue nggak bisa lama-lama ya. Jam setengah tiga kudu balik.”

“Iya, gue tahu lo les Inggris jam tiga! Yuk!” Echa langsung saja menarik tangan Hani hingga ia berdiri dari tempatnya.

“Kami duluan ya, Git!” seru Hani. setelah Gita membalas dengan anggukan, barulah Echa kembali menariknya lebih kuat keluar kelas.

“Sabar napa, Cha. Kayak belom makan dua bulan aja,” keluh Hani.

“Nggak bisa deh, keburu abis taukk!! Lo tahu ini lagi jam-jam makan siang? Gue nggak rela dunia akherat kalau sampai kehabisan karedok.” Echa terus menggeret Hani hingga tak sengaja bahu Hani menyenggol gerombolan cewek-cewek centil bin ceriwis yang sedang memblokade jalan koridor. Tangan Hani langsung terlepas dari geretan Echa, ketika cewek berambut panjang ikal yang disenggolnya berbalik badan. Ia langsung menghujani Hani dengan tatapan tajam. Begitu juga teman-teman se-genknya yang lain. Mereka makin memblokade jalan, mencegah Hani lewat.

“Heh, dipake tuh mata. Masih berguna nggak sih?” kata si cewek berambut panjang ikal itu.

Hani mendengus pelan. Sudah nggak heran lagi. Pasti dia mau nyari gara-gara! Berurusan dengan Gladis cs emang nggak  akan ada abisnya.  Apalagi jika menyadari kenyataan bahwa Gladis adalah pemegang predikat siswi berprestasi tahun lalu. Ah, pasti udah tahu kan kenapa Gladis memusuhi Hani? Yup, Gladis tidak terima karena gelar siswi berprestasi yang dipegangnya tahun kemarin direbut oleh Hani. mengingat Hani adalah siswi IPS, sedangkan Gladis adalah siswi IPA yang notabene, murid rajin, tanpa cela. Dan selisih akumulasi keduanya hanya dibedakan 0 koma sekian. Ckck, itu makin membuat wajah Gladis berubah merah padam serta mengeluarkan asap dari kedua kupingnya. Dia marah besar.

          Sejak saat itu, ya… sejak Bapak Kepala Sekolah tercinta mengumumkan nama Siswa-Siswi Berprestasi tahun ini pada saat upacara bendera, hidupnya berubah. Mendadak Hani berubah jadi populer, menjadi perbincangan khalayak dan membuat semua orang penasaran terhadapnya.

          “Mana sih cewek yang namanya Hani itu?”

          “Iya. Gue penasaran banget.”

          “Eh, itu Hani?”

          “Hah? Itu ya? Jelek banget sih.”

          “Pesek lagi.”

          “Nggak kok, dia manis. Bodinya OK.”

          “Ah, gue nggak percaya kalo dia pinter.”

          “Iya. Masih cantik juga si Gladis.”

          Belum lagi kalo Gladis cs yang komentar…

          “Hani, cewek IPS, nggak pantes banget dapet predikat gitu. Mau jadi apa nanti!”

          “Jangan-jangan dia sengaja nyogok kepala sekolah supaya dia dapet predikat itu!”

          “Hani mah pantesnya jadi siswi berprestasi di sekolah luar biasa! Hahaha…”

          Grrr… selama berhari-hari sejak pengumuman itu, Hani menelan semua tudingan miring mengenai dirinya. Ada yang kagum padanya ada juga yang menghina. Tapi juga kebanyakan menghinanya timbang mujinya. Ini cuman segelintir penderitaan yang dialaminya sejak pengumuman itu. Jangankan orang lain, Hani sendiri shock mendengar namanya disebut. Padahal yang pinter itu banyak banget, bejibun malah. Lihat saja, Andien, dia menangin beberapa lomba matematika tingkat nasional. Lalu Siska, si jago pencak silat yang menyabet medali emas dan perunggu. Belum lagi si Daisy, yang udah ketrima di Institut ternama karena saking pinternya dia. Padahal lulus aja belom. Itu yang ngebuat Hani bingung setengah mati. Ingin sekali ia complain ke kepala sekolah, kenapa harus dia yang dapet predikat begitu!? Bukannya malah seneng, tapi malah menderita. Padahal, kan, masih banyak siswi lain yang pantas menerimanya.

          Semakin lama, Gladis semakin melancarkan aksi gencatan senjatanya. Tak jarang Gladis melontarkan kalimat kasar, dan sindiran pedas pada Hani, walau akhirnya Hani memilih untuk mengalah dan diam. Buat apa toh ngeladeni orang syirik? Nggak akan ada habisnya! Ucapnya saat itu. Lagipula kalau boleh bersyukur, Gladis tidak berada satu kelas dengannya. Kelas Gladis nun jauh di mato, jadi bertemupun jarang. Hanya kalau mereka kebetulan berpapasan saja, seperti saat ini.

          “Nggak usah nyari gara-gara deh!!” suara lantang Echa membuyarkan lamunan Hani. “Lo mau, rambut bagus lo ini gue jambak sampe rontok!?” ancam Echa seraya mengambil sejumput rambut panjang Gladis yang tergerai dengan indahnya. Mata tajam Gladis beralih pada Echa. Kali ini sedikit melunak. Mana mungkin Gladis berani menantang. Echa pasti nggak segan-segan membunuh siapapun yang ganggu kalo lagi laper begini. Dan semua orang sudah tahu kenyataan itu.

          Ancaman Echa manjur juga. Terbukti, barisan pemblokade jalan langsung menyingkir memberi ruang untuk dua gadis terdakwanya.

          Hani terkekeh pelan, lalu geleng-geleng kepala.

          “Sekali lagi lo ganggu jalan kami, lo pulang tinggal nama! Ngerti.” Gertak Echa untuk yang terakhir kali. Gladis langsung manyun senewen menanggapi. “Cabut, Han.” Tangan Echa kembali mengamit Hani pergi.

          “Kenapa sih lo nggak bisa jahat dikit!? Liat tuh, mereka mereka semua jadi ngelunjuak, kan. Coba nggak ada gue, lo udah jadi ayam panggang tadi.” Kata Echa setelah langkah mereka menjauh dari genk Gladis.

          Hani mengibaskan tangan cuek. “Alaah, biarin deh. Entar juga dia bakal capek ngadepin gue.”

          Echa menghembus napas frustasi. Dia heran dengan sahabatnya yang satu ini. Nggak pernah sekalipun ia lihat Hani nanggepin cemo’ohan Gladis. Heran deh. Dia selalu diem, nyengir tanpa dosa, kemudian berlalu begitu saja. Hhh, dia itu sabar apa emang bego sih.

“Mang, karedok satu. Makan sini ya. Eh, jangan lupa teh anget satu sama es jeruk buat nona manis ini.” Echa menunjuk Hani lalu mengambil tempat duduk plastik di salah satu meja yang sedang kosong. Maklum, lagi jam makan siang sih, jadi rame banget.

“Oke, neng,” jawab si abang yang bernama Jalal itu. Meskipun warung sederhana ini terletak dipinggir jalan, tapi jangan salah, menu yang ditawarkan disini sangatlah enak.  Tema makanannya bumbu kacang semua. Ada karedok, gado-gado, dan pecel. Meskipun terbuat dari bumbu kacang, ketiga menu tersebut memiliki rasa yang berbeda-beda dan asli, enak banget. Hani pernah nyobain sekali, dan ia langsung ketagihan. Meniru gaya ritual Echa, sebelum pulang, mampir ke warung Mang Jalal dulu.

“Yakin lo nggak mau makan dulu?” tanya Echa. Hani menggeleng lalu tersenyum penuh arti.

“Ih, gara-gara Joe nih.” Echa langsung tahu apa yang dirisaukan sahabatnya itu. “Deuu, yang lagi jatuh cinta. Sampe nggak mau telat les Inggris nih.” Goda Echa. Hani tersipu malu.

“Tahu aja sih.”

“Iya dong. Kapan-kapan ajak gue les Inggris dong biar bisa kenal ama si Joe penasaran banget nih. Jangan-jangan wajahnya pas-pasan, cuman cerita lo aja yang lebay.” Echa tertawa lepas.

Hani melotot. “Sembarangan. Dia cakep tauk!! Gila lo, masa lo kira gue ngibul!!” Hani manyun. Echa kembali tertawa namun tawanya terhenti saat mendengar teriakan sesorang memanggil Hani dari seberang jalan. Echa buru-buru menoleh. Berbeda dengan Hani yang tampak biasa saja karena ia sudah sangat, sangat hafal suara ini. Jadi nggak perlu lihat siapa yang dateng, dia sudah tahu. Hani memandang sekilas dan ia sudah mendapati Tian berjalan menyeberangi jalan sambil tersenyum lebar.

“Wakakaka... gue kira siapa tuh yang manggil. Eh, ternyata si kunyuk.” kata Echa tanpa melepaskan pandang dari Tian.

"Sayang," sapanya lembut lalu duduk tepat dihadapan Hani. Hani melengos. Malu-maluin deh. Pikirnya. Lagi banyak orang gini pede manggil ‘sayang’. "aku cari kamu dikelas tadi. Tapi kata Gita kamu udah pulang. Lagi laper ya?”

Hani melotot berusaha tampak jual mahal. Eit, jangan salah paham dulu, mereka bukan pasangan yang lagi marahan lalu si cowok sedang merayu ceweknya biar nggak marah lagi. Bukan! Tian emang bukan pacar Hani dan bukan siapa-siapa. Cuma saudara seturunan Nabi Adam kok. Kira-kira sejak pertama kali mereka bertemu di awal MOS, Tian udah demen sama Hani. Hingga sekarang. Dan sikap mesranya itu sepertinya udah tertancap dan mengakar sampe nggak bisa diilangin sama sekali. Hani sampai bingung harus gimana. Wajah judesnya seperti ini saja tidak mempan menyurutkan niat Tian sekuat baja yang tidak terpatahkan buat menarik hati Hani! Hhh. Sayangnya, itu semua masih belum bisa merobohkan dinding hati Hani yang kokoh.

Kalau ditilik lebih lanjut, sebenarnya wajah Tian itu nggak ancur-ancur amir! Malah dia cenderung oke dengan sweater keren yang selalu menempel diluar seragamnya. Malah, gara-gara Tian suka pake sweater ke sekolah, gayanya ini jadi ditiru oleh sebagian besar kaum adam SMA GoldenWays. Tian malah sekarang dikenal jadi trensetter dikalangan murid-murid cowok.

Mang Jalal mengantarkan pesanan ke atas meja, Echa langsung menyambut karedok harum lalu menyantapnya lahap. Sementara Hani, cukup puas dengan es jeruknya. Tian mengerutkan kening saat melihat Hani nggak makan apa-apa.

“Honey, nggak makan? Nggak bawa uang ya? Aku beliin deh kalo gitu…” baru saja Tian mengangkat tangannya untuk pesan, Hani buru-buru mencegahnya.

“Eh, nggak usah deh. Gue kenyang. Lagian nggak bisa lama-lama disini.”

Alis Tian berkerut samar, mikir, lalu senyumnya kembali sumringah. “Ah, ada les Inggris, ya. Aku antar aja ya. Nggak lagi bawa motor kok, jadi nggak bikin rambut honey berantakan. Ya, ya, ya…”

Hani tertegun. Kok dia tahu sih? Ah, lupa! Gimana nggak tahu kalo tiap hari kerjaan Tian selalu nempelin Hani kemana-mana. Pasti dia udah tahu jadwal Hani. kapan Hani les Inggris, apa makanan kesukaan Hani, apa merk sampo yang lagi dipake Hani, dan Oh God, jangan sampe dia juga tahu apa merk pembalut yang dipake Hani. Hiiy, ngeri deh.

“Iya deh! Anterin gih, Yan.” Kata Echa dengan mulut penuh karedok.

Hani manyun. Niat mau ngejauhin Tian, kenapa malah jadi gini. Hani melirik jam dipergelangan tangannya. Lalu terperanjat.

“Aih, udah setengah tiga!! Kudu cepet sampe tempat les nih.” Buru-buru Hani menyedot es jeruknya hingga separuh.

“Honey, jadi gimana? Aku antar aja ya.” Tawar Tian lagi. Selagi ada kesempatan nih, pikirnya.

Tanpa sadar Hani manggut-manggut cepat. Udah deh, sesekali dianter Tian kan nggak masalah. Ia buru-buru berdiri dan membayar es jeruknya. Tanpa sepengetahuan Hani, Tian diam-diam menyedot es jeruk Hani sampe habis. Echa melotot.

“Heh, itu, kan sedotan bekas mulut Hani!! Jijik lo. Kalo Hani rabies gimana! Lo bisa ketularan tauk!!”

Tian mengusap mulutnya puas. “Lumayan. Bekas bibirnya Hani. secara nggak langsung, kita udah ciuman.” Tian terkekeh.

Echa makin mendelik. “Dasar, Sarap lo!! Udah, deh!! Sana pergi! Keburu telat.”

 

***

 

          “Sayang, sudah sampai…” kata Tian sumringah. Beberapa detik kemudian Hani masih membisu. “Sayang…” Tian menoleh ke kursi penumpang disampingnya. Lalu tertawa kecil. Rupanya Hani sedang capek sampai tertidur pulas di mobil Tian. Tian mendekatkan wajahnya ke Hani. “Honey, udah sampai…” bisik Tian lembut. Sontak Hani membuka matanya yang memerah lebar-lebar, lalu berteriak.

          “Kyaaa… lo apain gue, lo apain gue? heh?” seru Hani kesetanan sambil menutup dadanya.

          “Kamu tadi tidur. Jadi aku bangunin. Tuh, udah sampai.” Tian menunjuk gedung tempat kursus bahasa Inggris yang terletak di pinggir jalan. “Mana mungkin aku berani apa-apain kamu, honey.”

Hani langsung ingat. Hhh, kenapa pake acara tidur segala sih. Ngiler nggak ya tadi? Ngorok nggak ya? Ah, sebodo amat. Kan cuman Tian yang lihat, bukan Joe. Joe? astaga…

Mata Hani membelalak saat melihat cowok yang baru saja turun dari bus melalui kaca mobil. Lho itu kan, Joe. Joe melangkah dengan langkahnya yang lebar-lebar menuju tempat kursus. Hani kembali kesetanan.

“Aduh, gawat. Gue harus cepet-cepet pergi, nih.” Sekilas Hani bercermin merapikan rambutnya di kaca spion lalu membuka pintu. “Thanks, Yan.”

“Eeh, entar aku jemput nggak…”

“Nggak usah deh. Gue naik bus aja. Daah…” Hani melambai lalu berlari mengejar sang pujaan hati. Joe… ganteng sekali dia hari ini. sekilas tadi Hani melihat Joe mengenakan kemeja biru muda dengan lengan digulung sampai siku, plus celana jeans… kyaaaa… casual tapi tampak mewah jika Joe yang memakainya.

Tapi Hani tak menemukannya disepanjang jalan. Kemana ya? Cepet banget jalannya. Tak berapa lama, Hani menemukannya berdiri di depan papan pengumuman, membaca sesuatu disana dengan tampang serius. Hani menelan ludah. Pelan-pelan ia gerakkan kakinya yang mendadak kaku, mendekatinya, lalu berdiri disampingnya. Pura-pura baca… tempat itu masih sepiiii banget. Jadi, Hani yakin kelas belum dimulai. Masih ada waktu buat PDKT nih.

“Baca apa sih?” tanya Hani buka suara. Ia bingung. Disana hanya terpampang nilai-nilai try out siswa minggu lalu yang nilainya, jangan tanya, semua rata-ratanya dibawah lima.

“Apa lo nggak bisa baca?” sahut Joe dingin. Hani manyun. Bisa dong, kalo nggak bisa baca nggak mungkin tiba-tiba gue SMA, rutuknya dalam hati. “Nih, baca.” Joe menunjuk sebuah kertas yang tertempel tinggi diatas kepalanya. Aduh, nggak pake kacamata nih. Burem.

Mata Hani menyipit. Berusaha melihat apa yang terjadi disana. Tapi gagal. “Mata gue silindris. Jadi nggak bisa jelas bacanya.” Hani beralih menatap Joe lalu nyengir. “Jelasin dong, apa itu.”

Joe mendengus sebal menatap gadis itu, “Bukan soal mata. Lo aja yang pendek!” olok Joe. belum sempat Hani buka mulut untuk membalas olokan yang ditujukan padanya, Joe sudah menjelaskan. “Ini, ada program homestay gratis di London. Tapi Cuma dua orang yang berhak ikut.” Tuturnya.

Mata Hani melebar. “London??? Gue mau dong. Gimana cara daftarnya?” Entahlah, sebenarnya ia tidak begitu berminat dengan itu. Karena jelas sekali ia tak akan jadi salah satu dari dua finalis yang terpilih itu. Tapi mau gimana lagi, hanya pembicaraan ini yang akan mendekatkannya dengan Joe. 

“Semua siswa kursus ini yang berumur 17 tahun keatas yang boleh ikut. Tapi ada syaratnya…”

“Apa, apa?” seru Hani antusias.

“Lo kudu lulus tes Toefl. Minimal… 500-lah.”

“Hah?” serunya heboh. Hani jadi mengingat-ingat skor yang diraihnya pada awal tes Toefl kemarin yang hanya 450. Impossible banget kalo ia bisa meraih nilai 500 dalam waktu beberapa hari. “Ehmm… emangnya lo tertarik, ya?” tanya Hani. Joe hanya mengangguk mengiyakan. Hani mengetuk-ngetuk bibirnya. Kalo Joe yang ikut, udah pasti tu orang punya kesempatan besar jadi dua orang yang terpilih. Hhh… Gimana ya? Pengen banget sih ikut, tapi…

Tiba-tiba terdengar bel masuk berbunyi. Joe melirik jam tangannya lalu pergi berlalu begitu saja darisitu. Hei, apa dia lupa ada gadis terbengong-bengong didepannya tadi? Hani buru-buru berbalik lalu mengejar Joe. “Joe,tunggu!”

 

***

 

Hani menghampiri meja administrasi yang sedang ditempati mister Jaelani lalu duduk dihadapannya. Mister Jaelani yang lagi menerima telepon melirik sekilas kearah Hani lalu mengacungkan telunjuk ke depan bibirnya. “Iya. Pastilah. Jangan khawatir. Anak Anda akan berucap bahasa Inggris dengan fasih setelah keluar darisini.”Mister Jaelani tertawa. “Oke, oke… see you next time…” Hani melihat mister Jaelani menutup telepon lalu beralih memandangnya heran.

“Ada apalah kau kemari? Jam belajar kau, kan belum selesai?”

Hani buka suara. “Saya kesini cuman mau tanya, soal program homestay gratis di London itu. Kira-kira tes Toefl-nya diadakan kapan ya, Mister?”

“Seminggu lagi.”

Hani keselek. “Hah? Serius, Mister?”

“Apa kau kira wajahku ini tidak serius. Sudahlah kau, pergi belajar sana.” Mister Jaelani setengah membentak setengah ngusir. Tapi Hani keukeuh.

“Tapi, Mister… tolong lihat wajah saya. Apa kira-kira saya bisa masuk jadi dua finalis yang terpilih?”Hani memasang wajah tanpa dosanya sambil berpose sok imut.

Mister Jaelani, terdiam sejenak, memandang Hani. Lalu tertawa. “Maaf, aku tak berhasil menganalisis wajah kau. Kupikir, wajah kau itu tak meyakinkan sekali. Hahaha, sudahlah, pergilah kau belajar. Belajarlah yang baik, agar kau lulus tes Toefl nanti. Oke?”

Hani merengut tak puas dengan jawaban Mister Jaelani itu. Tapi bagaimanapun juga ia mengangguk, lalu beranjak pergi darisitu.

Sepanjang jalan kembali menuju kelasnya ia mikir. Joe tadi mengatakan, ia ingin sekali mengikuti audisi itu. Terus, Hani sekarang jadi ikut-ikut pengen nyobain tes Toefl besok. Hmm… ia harus belajar mulai dari sekarang. Walaupun belum tentu nih dia bisa masuk dua besar. Apa salahnya mencoba?

Hani memasuki kelasnya, lalu duduk dikursinya. Ia memandang lurus kedepan ke arah Mister David, yang asli Scottlandia itu bercuap-cuap. Hani beralih kearah Joe yang duduk tak jauh dari bangkunya. Ia sedang asyik mendengarkan si Mister David. Lalu bibirnya tertarik ke atas saat Mister David melontarkan lelucon. Hani tertegun. Aih, manis banget. Baru kali ini Hani melihat cowok itu tersenyum walau bukan padanya. Tapi aneh, dia merasakan getaran saat melihat senyuman sekilas namun indah tadi. kyaaaa…. Akan ia ingat dikepala, bagaimana cara dia tersenyum tadi.

Bel pelajaran berakhir berbunyi. mister David menutup pelajarannya dengan berdoa, setelah itu, seluruh murid berhamburan keluar kelas. Hani cepat-cepat membereskan barang-barangnya sementara Joe sudah beranjak meninggalkannya, duh, lupa deh…gara-gara sibuk ngeliatin Joe tadi, dia sampai lupa membereskan barang dimenit-menit pelajaran berakhir.

“Joe, tunggu!!!” Hani berlari mengejar Joe menerobos sekerumunan murid-murid yang berjalan. Buset nih orang, belom semenit do’i udah jalan didepan sana.

Joe berhenti sejenak karena merasa dipanggil. Ia berbalik dan mendapati Hani menghampirinya dengan napas memburu. Hani menyempatkan nyengir sejenak kearah Joe.

“Gue bareng dong ke depannya.” Kata Hani setelah napasnya menormal.

Sebelah alis Joe terangkat, diam tak menyahuti, kemudian ia berbalik begitu saja lalu melangkah meninggalkan Hani. Hani tidak patah semangat, ia cepat-cepat mengekor dibelakangnya.

“Gue tadi liat elo turun dari bus. Kebetulan nih gue juga pulang naik bus. Bareng ya?”

Joe melirik sekilas kearah gadis disampingnya, lalu beralih memandang lurus kedepan lagi. “Rumah gue di Bogor. Lo masih mau ngikut gue?”

Hani mangap saking kagetnya. “ HAH? Bogor? jauh amat. Emang di Bogor nggak ada kursus les Inggris apa? Kenapa bela-belain dateng kesini?”

Joe hanya tersenyum sinis, lalu berkata dingin. “Bukan urusan lo. Tau?”

Hani manyun. Bener-bener ganjil nih cowok. Hani makin penasaran aja nih. Cowok itu udah terbukti fasih berbicara bahasa Inggris, jadi nggak perlu kalee nyusahin diri buat les Inggris. Apalagi setelah Hani tahu bahwa rumah Joe itu di Bogor. Apa nggak kurang nganggur tuh cowok. Tapi perasaan itu ditahannya, masih banyak waktu untuk menayakan hal itu jika ia sudah berteman dengan Joe, pikirnya. Ia terus mengekor Joe berjalan keluar menuju halte terdekat.

“Mmh, Joe, by the way, lo sekolah di SMA mana sih?” Hani buka suara. Pura-pura gak tahu aja sih. Cuma memastikan kalau berita yang didapat dari petugas admistrasi benar.

“Columbia.” Jawab Joe singkat. Hani nyengir gembira. Betul, kan?

“Hmm… Columbia? Itu SMA Internasional paling bagus, kan? Kalo gue di SMA GoldenWays.” Terang Hani.

Mendengar itu, Joe sontak menoleh kearah Hani. “GoldenWays?” alis tebalnya menyatu.

Hani mengernyit bingung. “Iya. Kok lo ngedenger nama sekolah gue kayak denger nama sekolah dukun sih?”

Joe spontan tertawa mendengar celetukan Hani. Diam-diam Hani tersenyum puas karena merasa berjasa telah membuat Joe tertawa.

“Gue jadi keinget sesuatu. Lo pasti kenal cewek yang namanya Gladis, kan?”

Hani seketika membeku ditempat. Gla… Gladis? Jangan bilang… jangan bilang kalo Gladis pacarnya Joe. “Gladis…??” ulangnya. Memastikan pendengarannya masih berfungsi dengan baik.

“Iya. Cewek ajaib itu…” Joe kembali tertawa. Ketawanya jelek banget. Masa iya sih ada orang ngetawain pacarnya sendiri kayak gitu?

“Gladis? Cewek lo?” tanya Hani tak sabar.

“Bukanlah. Apa gue udah buta mau macarin dia?” Hani langsung dirayapi perasaan lega. Lega banget. Untung deh kalo mereka nggak pacaran. Eh, tunggu, kalo Gladis aja nggak bisa narik hati Joe, gimana dengan Hani??? Oh, God… Gladis bahkan tampak lebih menawan daripada Hani. Lantas Hani ini bisa dikategorikan sebagai apa donk? Apa harus nunggu otak Joe miring 180 derajat baru bisa memilih Hani.

“Terus apa dong kalo bukan pacar?”

“Dia Cuma kuman yang bikin gatel.” Sedetik kemudian sebelah tangan Joe melambai dan menghentikan sebuah bus Transjakarta yang lewat.

Hani masih terdiam gak ngerti. Kuman bikin gatel?? Selanjutnya ia sadarkan diri dan cepat-cepat menyusul Joe yang sudah naik keatas bus.

 

***

 

“Hah? Serius? Jadi Joe kenal nenek lampir itu???” seru Echa kenceng. Kekencengan sampai seisi kantin ini menoleh kearah mereka berdua.

Hani mengacungkan telunjuknya kedepan bibirnya. “Ssssstt… jangan kenceng-kenceng dong. Yang jelas gitu deh. Gue nggak abis pikir aja. Dunia bisa sesempit daun kelor begini.” Kata Hani berlagak mikir.

“Ah, itu, tapi kan belom tentu juga Joe naksir dia. Seperti yang dibilang dia tadi, Gladis ibarat kuman yang bikin gatel. Tuh, nggak enak banget, kan?”

Hani manggut-manggut. “Iya sih.” Lalu menyedot es jeruk favoritnya sampai habis. Echa memasukkan sendok penuh gado-gado kemulutnya, lalu mengunyahnya mantab. Sedetik kemudian, matanya melotot lalu terbatuk-batuk keselek.

“Echa! Makannya pelan-pelan dong! Jadi keselek, kan.” Hani menepuk-nepuk punggung Echa. Echa segera meminum es tehnya lalu berbicara.

“Tuh, mak lampir yang kita omongin dateng juga.” Echa menunjuk ke salah satu arah. Hani langsung mengikuti. Gladis dengan gank-nya yang selalu ketawa-ketiwi dengan louder-nya, tengah berjalan beriringan menuju kearah meja yang sedang diduduki Hani dan Echa.

Hani menghela napas panjang. Perasaannya mulai nggak enak. Pasti mau nyari gara-gara lagi nih.

Gladis langsung duduk dihadapan Hani begitu rombongan mereka sampai. Hanya Gladis, karena yang lain menunggu di salah satu meja tam jauh dari tempat Hani. Gladis menatap Hani lekat-lekat seolah mau menelannya. Kemudian ia tersenyum sinis. Echa udah kegemesan liatnya. Jadi pengen cepet-cepet nampol aja.

Hani mendongak. Matanya mengisyaratkan untuk mempersilakan Gladis bicara. Setelah melaksanakan kuda-kuda perang, Gladis akhirnya bersuara.

“Gue denger lo satu les Inggris sama Joe. bener?”

Kepala Hani serasa dihujam beton baja. Matanya kunang-kunang. Tubuhnya kaku, membeku ditempat. Ia hanya diam menatap Gladis tanpa berkedip.

“Eh, emang kenapa kalo Hani satu les sama Joe?” Echa mengambil alih. Hani kenapa sih diem aja. “Emangnya ada yang salah??” sahut Echa lantang.

Gladis beralih pada Echa yang duduk disamping Hani. “Sorry, gue nggak lagi ngomong sama lo.” Lalu beralih pada Hani lagi. “Jadi bener, gitu?”

Hani menyunggingkan senyum tipis. Ia sudah bisa mengendalikan emosinya. “Iya. Kenapa?”

Gladis tersenyum sinis mendengarnya. “Ternyata bener . Tapi gue minta satu hal sama lo…” kemudian ia menyondongkan tubuh kearah Hani, “Jangan coba-coba deketin Joe. karena dia Cuma punya gue.”

Hani tertegun. Ia kembali tertampar. Hani mengerjab-ngerjabkan mata beberapa kali, menenangkan debar emosinya yang tak keruan. Ia baru akan melontarkan kata-kata pembelaan diri, tapi urung karena Gladis keburu pergi. Echa yang melihatnya tak terima, ia berteriak memaki pada punggung Gladis yang sudah menjauh.

“Eh, mak lampir sialan. Nggak punya malu ya lo…”

Hani menyentuh pundak Echa. “Udah, udah, Cha. Biarin. Apa gunanya ngomong sama ayam macam dia.”

Echa menatap Hani sebal. “Lo nih kenapa sih, Han? Selalu aja bilang gitu. Tuh anak makin ngelunjak aja kalo dibiarin! Coba deh lo dikit kejem sama dia.”

Hani menggeleng lalu tersenyum masam. “Masalah gue nggak Cuma ayam itu aja tauk. Bagi gue, tuh orang nggak penting bagi keberlangsungan hidup gue. masih ada yang lebih penting!!”

Echa mendengus sebal. “Apa?”

“Gue harus lulus tes Toefl dan ikut homestay di London.”

“???!”

 

***

 

Hani berjalan lunglai memasuki komplek perumahannya. Karena angkutan umum nggak ada yang mau masuk komplek ini, akhirnya Hani berjalan sekitar 100 meter dari gerbang komplek menuju rumahnya. Biasanya sih ada abang-abang ojek atau tukang becak yang berseliweran. Tapi karena ini udah magrib, nggak ada satupun abang-abang ojek yang nongol. Ya, sekarang hari sudah menjelang malam dan Hani baru saja pulang. Hani bukan habis menghadiri kegiatan ekskul disekolah, juga bukan habis menghadiri Rapat OSIS disekolah. Dia baru saja pulang dari rumah Pak Bekti—guru bahasa Inggris disekolah—hanya untuk les TOEFL gratis dirumahnya. Ia butuh bimbingan, dan pencerahan pada Sang Guru agar ia bisa mendapat hidayah saat mengerjakan butir-butir soal TOEFL yang akan dilaksanakan satu minggu lagi. Ya, SATU MINGGU LAGI. Tampaknya memang impossible, dan begitu dijalani juga masih tampak impossible. Nggak mungkin bangeeet kale bisa meningkatkan score dengan belajar cuman satu minggu. Tapi Hani terlalu lelah untuk memikirkan itu. Ia lebih suka membayangkan bath up berisi penuh air panas untuk berendam dan kasur empuk. Rasanya lelah sekali.

Hani membuka pintu pagar hitamnya lalu masuk ke dalam, melepas sepatu sembarangan lalu membuka pintu. Begitu masuk, ia sudah disambut oleh Papa dengan sarung merah kesukaannya duduk di meja makan.

Papa mengintip dari balik majalah yang dibacanya. “Hani, kenapa baru pulang? Kemana aja kamu?”

Hani melenggang, membuka kulkas. “Abis les inggris, Pa.” kemudian ia meneguk segelas penuh air dingin sampai abis. Papa mengernyit heran.

“Les Inggris? Setahu Papa, kamu nggak ada jadwal les Inggris hari ini, Han.” Kata Papa dengan nada heran. Papa begitu hafal dengan jadwal kursus Hani. Karena itu, Hani nggak akan bisa bohong dengan alasan ‘ada les Inggris’ padahal dia lagi jalan sama temen-temen.

“Hani nggak les Inggris di LBB kok. Tadi belajar dirumah Pak Bekti!” Hani membungkuk mencari-cari camilan di dalam kulkas, dan menemukan sebungkus roti kacang. Ah, lumayan buat ganjal perut. Ia langsung menggigitnya sepotong. Saat ia berbalik, ia sudah mendapati alis ayahnya berkerut-kerut tak mengerti. “Ini bukan les Inggris biasa, Pa!!” Hani berapi-api dan dengan bersemangat ia menarik kursi disamping ayahnya.

Hani menggenggam tangan Papa. “Hani pengen lulus tes TOEFL supaya bisa dapet homestay gratis di London, Pa!!!” seru Hani tertahan. “Mohon doa restunya, ya.”

Papa menarik tangannya kembali lalu mendengus. “Kamu baru les Inggris beberapa bulan. Mana mungkin bisa?” ejek Papa. Hani manyun. Papa langsung terbahak.

“Hani pasti bisa, Pa. karena Pak Bekti itu hebat. HEBAT banget!! Dan beliau udah ngasih wejangan, agar Hani optimis dan terus berusaha!” Hani mengepalkan tangannya. “Pokoknya, Papa kudu doain Hani deh. oke?”

Papa tertawa lagi. “Iya, iya. Udah, mandi sana. Baumu udah kemana-mana tuh.”

“Yee, Papa. Ya udah. Hani mandi dulu. Daaah…” Hani langsung melesat pergi. Papa hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah anak gadisnya itu.

 

***

 

“Hani, entar malem nge-mall yuk!!” ajak Echa menggebu-nggebu. “Gue jemput deh. Sekalian pengen ngapelin Kak Vino. Udah lama nih nggak ketemu. Kangeen banget gue.”

Hani memindah ponselnya dari telingakiri ke telinga kanan sambil mendengus. Ia menjawab sambil membuka-buka soal TOEFL yang diberikan Pak Bekti dengan ekspresi malas. Sudah seminggu ia belajar tanpa henti dan otaknya sudah tak tahan lagi. Kepalanya ingin meledak dan perutnya sudah mual melihat deretan soal-soal ini. “Gue lagi belajar nih, Cha. Sueer. Lo boleh deh ngapelin kakak gue. Bawa pulang kalo perlu. Tapi, sori, gue bener-bener nggak bisa. Entar sore tes TOEFL-nya udah dimulai. Gue harus punya persiapan nih.”

Hani mendengar Echa mengeluh diseberang. “Yee, elu. Ya udah deh… gue anterin ke tempat les Inggris lo aja gimana? Jam tiga lo siap deh.”

Hani tersenyum lebar. “Aih, lo baik banget, Cha. Iya, sampe ketemu jam tiga. Oke?”

Hani menutup teleponnya, lalu merebahkan diri sambil menatap langit-langit. Aah, entar sore ketemu sama Joe lagi nih!! Asyik. Memikirkannya saja sudah membuat Hani berdebar-debar. Ia sudah tak sabar menunggu datangnya jam tiga dan sesegera mungkin dapat melihat wajah Joe dan matanya yang indah. Aih…

Hani memeluk boneka sapi kesayangannya lalu tanpa sadar ia tertidur pulas.

 

***

 

 

“Aduuh, lo sih pake acara tidur segala. Jadi telat, kan!” omel Echa sambil nyetir. Honda Jazz silvernya melaju dengan kecepatan tinggi.

Hani menggigit jarinya. “Iya, iya… gue salah. Gue lupa nggak pasang alarm buat bangunin gue. Udah deh, jangan nyalahin gue teruus. Lo nggak tahu apa tadi gue udah ngantuk berat! Manusia kan bisa aja salah, Cha… sekarang jam berapa nih?” Hani melirik jam tangannya. Lalu sekonyong-konyong ia melotot sambil berteriak. “Kyaaaaa… udah jam tiga lebih sepuluh menit.” Hani menoleh kearah Echa yang sepertinya tidak terpengaruh dengan teriakan Hani. “Cha, telat banget nih. Bisa-bisa gue sampe tempat les jam setengah empat!! Ngebuut dong, Cha. Tambahin kecepatannya!”

“Eh, lo tuh udah kebanyakan salah ngerti. Udah nggak mau gue ajak nge-mall, pake acara ketiduran pula sampe gue harus nungguin lo mandi hampir sejam! Sekarang lo ngerengek-rengek minta gue ngebut. Nggak bisa deh!”

“Iiih,” Hani melempar tas kecilnya tepat di wajah Echa. “Rese banget sih lo.”

“Eh, jangan sembarangan lempar-lempar tas lo. Gue lagi nyetir tauk!! Bisa meleng entar.” Echa kembali mengomel dengan ‘aksi lempar tas’nya Hani yang tidak bisa dia elak.

Sepuluh menit kemudian, Hani sudah menapakkan kakinya di tempat les, dan bisa ditebak, suasana disana sudah sepi. Sepi sekali. jantung Hani dag dig dug seiring langkahnya menuju ruang tes. Deeu, kalo sampe nggak bisa ikut tes, sia-sia dong dia belajar seminggu terakhir ini!!

Di perjalanan menuju kelas tes, Hani berpapasan dengan Mister Jaelani yang langsung menahan langkahnya. Beliau melirik Hani melalui kacamata rangkapnya sambil berdecak. “Kau ini… bagaimana bisa kau lulus tes TOEFL kalau datang saja kau terlambat. Tes sudah berjalan sepuluh menit yang lalu.”

Hani cemberut lalu menjawab. “Saya nggak sengaja, Pak. Saya bisa meminta tes ulang kalau perlu. Baiklah, saya pamit pergi dulu.” Ucapnya sambil lalu. Mister Jaelani yang merasa kalah telak Cuma bisa geleng-geleng kepala.

Hani berlari menaiki tangga lalu masuk ke salah satu ruang yang ia yakini sebagai ruangan tes. Saat melongok kedalam, ia sudah mendapati Mrs. Jenny yang sedang asyik membaca novel berbahasa Inggris tebal duduk dihadapan deretan bangku-bangku yang sudah terisi penuh murid yang ikut tes. Hani mengetuk pintu pelan, lalu masuk kedalam.

Tapi untunglah Mrs. Jenny tidak begitu peduli dengan keterlambatan Hani. Guru muda itu hanya melirik sekilas, mempersilakan Hani duduk, lalu membaca kembali.

Mata Hani menjelajahi seisi kelas, lalu menemukan Joe yang duduk mengerjakan soal dengan serius di bangku nomor dua dari belakang. Karena bangku dibelakang Joe sedang kosong, Hani langsung  meluncur kesana.

“Hai,” sapa Hani pelan sambil mendaratkan pantatnya ke bangku belakang Joe. Joe hanya melirik sekilas lalu menunduk mengerjakan soal-soal dihadapannya. Hani tersenyum jahil lalu mengambil peralatan tulis dari tas kemudian mengerjakan kertas-kertas kosong yang sudah disiapkan dihadapannya dengan khidmat.

Dua jam kemudian.

Hani menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan sebelah tangan, sementara tangan yang lain mengetuk-ngetuk ujung pensilnya ke pelipis. Masih kurang sepuluh soal lagi dan dia belum selesai? Astaga! Waktunya hampir habis!!

Sekonyong-konyong ia merasakan mejanya bergeser mundur. Ia mendongak dan melihat Joe sedang berdiri membawa soalnya lalu berjalan menyerahkan tugasnya ke meja Mrs. Jenny. Hani menelan ludah. Hadu, gimana nih? Ia harus cepat.

Hani kembali menunduk mengerjakan sisa soalnya dan berusaha tidak terpengaruh suara gaduh dari murid-murid lain berebut mengumpulkan jawabannya. Hani merasakan kehadiran Joe. ia mendongak dan mendapati Joe sedang membereskan barangnya ke dalamtas.

“Joe,” bisik Hani. “Tunggu gue ya? Tinggal sedikit kok. Oke?” Hani mempertemukan telunjuknya dan jempol hingga membentuk huruf O. sekali lagi, Joe hanya meliriknya lalu mendengus pelan. Entahlah apa artinya itu. Dia sedang menolak atau menyetujui?

Hani membiarkan Joe pergi lalu berkonsentrasi kembali pada pekerjaannya. Lima menit kemudian, setelah semua ruangan sepi, dan hanya menyisakan Hani, Mrs. Jenny serta novel tebal milik Mrs. Jenny, Hani mengumpulkan jawabannya. Hani memang tak yakin semua jawabannya benar. Tapi, ah sudahlah. Biarkan saja. Ia semakin pesimis saja untuk bisa lolos. Yang terpenting sekarang ia harus mencari dimana Joe. Hani berpikir, apa cowok itu jadi menunggunya atau meninggalkannya??

Hani berjalan di koridor yang sepi sambil buru-buru menuju tangga untuk turun ke lantai dasar. Hatinya sudah melengos kecewa saat ia tak mendapati Joe di sudut mana pun. Hani mendengus keras, dengan langkah-lagkahnya yang seiring melemah. Hari ini dia nggak bareng Joe naik bus bersama lagi dong. Padahal Hani sudah berharap hari ini bakal menjadi hari terindah! Hiks, nyatanya.

 

 

***

           

 bersambung....