Senin, 10 September 2012

He is My Sunshine 2 (cerbung)


 Hai , i'm again .. ini kisah Clarise yang selanjutnya .. Selamat membaca dan mohon beri komentar di bawah, Kalian lebih suka Kyle atau Axel ?? :D





Clarise menjentik-jentikkan jarinya tepat di depan mata Tere yang mulai memejamkan mata. “Hei, hei… bangun!”

Seketika Tere membuka matanya yang memerah lebar-lebar. Ia geleng-geleng kepala sejenak lalu mengucek-ngucek matanya. “Oh, Tuhan, kantuk ini sudah membunuhku. Untung saja Monsieur Doughlas tidak membunuhku juga! Sebenarnya aku sudah tertidur sejak pelajaran Sastra Inggris tadi.”

Clarise mencomot kentang goreng di hadapannya sambil membaca novel dan berujar enteng. “Memangnya kau pulang dari rumah Gabrielle jam berapa? Aku heran kenapa Gabrielle mengadakan pesta tidak pada saat weekend saja. Kalau begini kan susah. Aku dengar banyak dari mahasiswa teknik yang tidak masuk hari ini.”
“Yaah… begitulah. Aku akan protes begitu bertemu Gabrielle nanti.” Tere menguap lalu buru-buru menutup mulutnya. “Lalu bagaimana dengan ibumu? Apa tadi malam kau jadi di panggang?”

Clarise tertawa. “Tidak. Ibuku tidak akan setega itu. Lagipula tadi malam aku tidak bertemu ibuku. Sepertinya ia belum pulang dari butik. Aku baru bertemu ibu saat sarapan tadi.” mata Clarise berbinar. “Dan hebatnya lagi, ibuku tidak menanyakan apapun soal pesta tadi malam. Mungkin karena saking lelahnya sampai ibu lupa akan kebiasaannya mengintrogasiku.”

“Kau beruntung sekali.” Tere menyeruput kopi Clarise. “Lalu bagaimana dengan lelaki itu? eh, siapa namanya? Kyle?”
Seketika Clarise ingat. Mengingatnya sukses membuat aliran darah di sekujur tubuhnya mengalir deras. “Ahh, dia… aku bahkan belum tahu bagaimana wajahnya. Dia masih memakai topeng di akhir pertemuan kita. Aku jadi penasaran dengan wajahnya.” Clarise mengepalkan tangannya. “Tapi bagaimanapun juga aku harus menemukannya. Harus! Kau bisa bantu aku, kan, Tere?” Clarise beralih menatap Tere lalu seketika ia mendengus keras. “Tidur lagi!”


***


Clarise pergi menuju kantin yang paling dekat dengan fakultasnya lalu berjalan menuju vending machine. Mata kuliah statistika sangat membuatnya kehausan siang ini. Clarise memasukkan beberapa koin ke dalam celah lalu memilih sebotol jus jeruk. Beberapa saat ia menunggu minumannya keluar sambil memeriksa ponsel. Tidak ada SMS dari siapapun. Bahkan dari Axel. Kemana perginya lelaki itu? Apa Clarise harus menghampirinya di fakultas kedokteran, tempat dimana ia belajar? Clarise mengangkat bahu. Sebaiknya tidak usah. Clarise malah merasa menjadi penganggu kalau terus-terusan mengganggu ketenangan hidup Axel. Tapi... hey, kenapa minuman dinginnya tidak keluar-keluar?

Clarise memeriksa lubangnya, dan tidak menemukan apapun disana. Ya ampun, ia sangat haus dan ia tidak bisa menolelir siapapun yang mengganggunya di saat haus seperti ini.
Clarise memukul-mukul vending machine itu lalu menekan segala tombol yang ada disitu. Ia memandang ke segala arah dan tidak menemukan siapapun di kantin itu yang dapat dimintai tolong. Ya Tuhan, cobaan apalagi ini.
Clarise masih memukul-mukul vending machine itu dan yang terakhir ia menendangnya hingga kakinya sendiri yang kesakitan.

“Aduh, kaki gue!!” teriaknya.
“Salah apa lemari es itu hingga kau menendang-nendangnya?”
Clarise terpaksa tidak mengacuhkan rasa sakit di kakinya lalu mendongak untuk melihat siapa yang berbicara barusan.

Dan seketika Clarise tertegun menatap lelaki tinggi yang berdiri menjulang di sebelahnya sedang tersenyum menatapnya dengan ekspresi geli. Dan saat pertama kali melihatnya, Clarise merasa ia tidak mengenal lelaki itu. Matanya biru, rambut hitam kecokelatan, hidungnya yang tinggi, kulit sebening porselen… astaga, makhluk darimana ini? Tapi bagaimanapun juga Clarise memasang wajahnya agar terlihat biasa saja lalu tersenyum aneh.

“Eh, hai…” malah itu yang keluar dari mulut Clarise. Seketika ia membodohi dirinya sendiri. Ia bertingkah kikuk sambil menunjuk ke arah alat bodoh itu. “Ini… tiba-tiba saja tidak berfungsi. Minumanku tidak bisa keluar.” Jelasnya.

Lelaki itu menaikkan alis, bergerak menekan salah satu tombol, lalu membungkuk sambil memasukkan tangannya ke arah lubang. Dan magically, minuman dingin Clarise sudah berada di tangan lelaki itu. Clarise langsung tersenyum lega. Ia menerima minuman dinginnya.

“Terimakasih banyak! Aku tidak tahu kalau tidak ada kau mungkin kulitku sudah pecah-pecah karena kekeringan. Sekali lagi terimakasih.”
Lelaki itu tertawa.“Jangan berkata begitu. Aku hanya kebetulan lewat sini dan melihatmu.”
“Ooh, kau fakultas teknik juga?” Clarise membuka tutup botol minumannya lalu meminumnya seteguk.

Lelaki di depannya cuma melongo heran. “Kau lupa?”
“Eerr…” Clarise ikut-ikutan bingung. “Aku tidak lupa. Aku memang tidak tahu.”
Dan seketika lelaki itu tersenyum lebar. “Oh, Tuhan. Saat kau berkata ‘hai’, kukira kau benar-benar mengingatku. Ternyata, kau sama sekali tidak tahu?”

Clarise menggigit bibir bawahnya sambil menggeleng. Benar, ia tidak pernah mengenal lelaki ini. Atau mungkin mereka pernah bertemu?
“Astaga, aku Kyle! Kau lupa?”
Dan disaat yang sama Clarise terbatuk-batuk. Ia tersedak liurnya sendiri. “Apa?” ujarnya disela batuk-batuk.

“Hey, apa yang membuatmu batuk? Kau terkejut?” Kyle mengusap-ngusap punggung Clarise.
Clarise mengamati wajahnya dengan seksama. Seharusnya ia mengingat rambut cokelat dan perawakan tubuhnya. Harusnya ia mengingat itu!
“Jadi ini kau?” tanyanya masih tidak percaya.
Kyle tersenyum sambil menggut-manggut. “Kenapa? Wajah yang tidak seperti yang kau harapkan?”

Ini lebih dari yang seperti ku bayangkan, gumam Clarise dalam hati.
“Kau tidak ada kuliah?” tanya Kyle ketika mendapati Clarise hanya diam membisu dan tersenyum.
“Ah, tidak. Aku sudah selesai. Hanya saja ada seorang dosen yang ingin bertemu denganku pukul satu nanti. Bagaimana denganmu?”
“Aku juga baru akan pulang. Tapi…” Kyle melirik jam tangannya. “Kau masih harus menunggu sekitar satu setengah jam lagi.”

Clarise membenarkan. “Ya begitulah. Semua temanku sudah pulang. Tere juga. Dia sudah terserang virus kantuk dan memutuskan untuk pulang. Biasanya dia yang selalu menemaniku.”
“Kalau begitu, bagaimana kalau aku saja yang menemanimu?”
“Ah tidak usah, aku tidak suka merepotkanmu.” Clarise buru-buru menolak.
“Kalau kau tak mau kutemani, maukah kau menemaniku makan siang?” Kyle tersenyum jahil.

Clarise lagi-lagi tertawa. “Bukankah itu sama saja?” Clarise tampak menimbang lalu berkata. “Baiklah aku mau. Kau mau makan apa?”
“Hmm, apa saja. Kau sedang ingin makan apa?”
“Aku ingin makan bouef bourguinon.”
Mata Kyle melebar. “Oh ya? Kita punya selera yang sama. Aku juga penggemar beef. Kalau begitu ayo.” 


***


Kyle adalah sosok pribadi yang ramah, humoris dan menyenangkan. Berbicara dengannya selama satu setengah jam akan terasa seperti semenit. Clarise sangat menyukai lelaki seperti ini. Ia tak akan merasa bosan walau hanya duduk di kafetaria ini selama satu jam setengah dengan piring-piring yang sudah kosong. Makanan mereka sudah habis satu jam yang lalu dan Clarise tak ingin cepat-cepat beranjak dari situ. Berbicara dengan Kyle seperti berbicara dengan ibunya sendiri. Tak akan habis cerita yang mengalir. Kyle yang tampaknya pendiam itu ternyata sangat pandai bercerita. Malah terkadang mereka terlibat adu pendapat. Tapi semuanya mengantar mereka kembali untuk tertawa.

“Oke, Clarise, ini sudah jam satu. Kau harus menemui dosenmu sekarang kalau tidak ingin terlambat.” Kyle menyarankan.
Clarise sedikit kecewa karena sebenarnya ia ingin berlama-lama lagi dengan Kyle. Ada banyak yang belum ia ketahui soal Kyle. Tapi masih ada waktu lain untuk mengobrol kembali.

“Baiklah. Aku harus segera menemui orang itu. Kau tidak ada acara lagi?”
“Tidak. Hanya membereskan apartemenku yang masih berantakan.” Kyle tersenyum manis.
Kyle mengantarkannya sampai di depan ruangan para dosen. Clarise melambai penuh semangat kearah Kyle sebelum ia masuk ke ruangan itu. Kyle tersenyum lalu membalas lambaiannya. “Sampai jumpa, Clarise.”


***


Clarise tidak tahu kalau Axel tengah berada di butik ibunya sore hari itu. Usai bertemu dengan dosen, Clarise langsung menuju ke butik karena ia cukup penat berada di rumah yang pasti akan sesepi kuburan. Ibunya selalu menghabiskan waktunya di butik dan pulang hingga larut malam. Sementara adik perempuannya, Claudy, masih belum kembali dari Indonesia. Ia masih asyik menghabiskan liburannya di rumah nenek, di Jogjakarta.

“Astaga, kau disini?” kata Clarise bingung harus terkejut atau senang. “Kenapa tidak meneleponku dulu? Sudah lama menungguku?”
“Ponselmu saja mati. Bagaimana aku bisa meneleponmu. Aku sudah menunggu selama tiga puluh menit disini.” Kata Axel cuek. Clarise bisa menangkap bahwa Axel sedang marah padanya. Ia saja barusan menyadari kalau ia sudah mematikan ponsel sejak tadi.

“Maaf. Aku lupa tidak menyalakan ponsel.” Clarise menyesal. “Lalu mengapa tumben sekali kau datang kesini? Masih ingat aku?”
“Ya Tuhan, apa salah kalau aku merindukanmu dan ingin bertemu denganmu? Aku ingin mengajakmu ke Champ Elysee. Ada sesuatu yang ingin kubeli disana?”
“Apalagi? Pasti parfum?” Clarise heran kenapa lelaki ini gemar sekali mengoleksi berbagai parfum di rumahnya. Sampai-sampai ia membeli sebuah lemari besar untuk menyimpan koleksi parfumnya.
“Ya… apalagi? Bagaimana? Kau setuju, bukan?”
“Oke. Tapi tunggu sebentar. Aku mandi dulu.” Setelah mendapat persetujuan Axel, Clarise melepas sepatunya lalu masuk menuju kamar mandi.


***




Clarise dan Axel baru saja keluar dari gerai parfum terkenal di Champ Elysee lalu berjalan menuju trotoar secara beriringan. Keadaan Champ Elysee malam ini seperti biasa. Penuh sesak oleh para turis dan penduduk lokal yang ingin menghamburkan uangnya. Clarise benar-benar malas berjalan-jalan di seputaran Champ Elysee. Karena ia tidak bisa berhenti melotot melihat harga-harga di pertokoan ini yang tidak ada yang murah! Ia lebih suka berjalan-jalan di Rue Sufflot yang terletak di dekat kampusnya karena harga produknya yang lebih miring dan pas di kantongnya.

Sebenarnya Axel tadi memaksa untuk membelikannya parfum dan berulang kali Clarise harus menolak karena ia sendiri sudah memiliki parfum. Lagipula ia tidak akan pernah tega menyuruh Axel membelikannya barang pribadi karena Axel sendiri seorang mahasiswa yang berpenghasilan tak tentu. Kadang menjadi seorang pelayan restoran, penjaga toko, petugas perpustakaan kampus dan bahkan Clarise pernah melihatnya bekerja sebagai bartender. Clarise sangat tahu bahwa Axel ingin mewujudkan cita-citanya sebagai mahasiswa yang mandiri. Karena tentu saja tidak selamanya ia bisa bergantung pada uang kiriman orangtua angkatnya.

“Aku ingin makan Baquette…” kata Axel sambil melihat ke gerai roti.
“Kau tidak usah jajan diluar. Kau boleh makan sepuasnya di rumahku.”
“Aku tidak enak kalau terus-terusan merepoti ibumu, Clare…” jelas Axel.
Clarise mengibaskan tangannya. “Ibuku tidak masalah. Lagipula kau sudah mengenal keluarga hampir lima tahun. Ibuku juga menyayangimu selayaknya anak sendiri.”

Axel hanya tersenyum simpul. Tapi tiba-tiba Axel menarik lengan Clarise mendekat. Clarise begitu terkejut ketika Axel menyentuhnya. Dan bersamaan dengan itu seorang lelaki yang memakai baju lengan panjang warna khaki tiba-tiba datang mendekat. Clarise langsung tahu karena ini adalah spontanitas Axel saat seorang lelaki tak dikenal menghampiri mereka. Ia selalu cepat-cepat menarik lengan Clarise mendekat ke arahnya.

“Hai… Mademoiselle Clarise…”
Clarise butuh waktu tiga detik untuk menyadari bahwa lelaki yang menghampirinya tadi adalah Kyle. Matanya langsung melebar. “Astaga, Kyle! So surprise meet you here.”
“Awalnya aku agak ragu. Karena itu aku menghampirimu dan memastikan itu kau.”
“Oh… kau sendirian?” entah mengapa Clarise sangat senang bertemu dengan Kyle disini.
“Tidak. Bersama teman-teman yang lainnya. Mereka ada disana.” Kyle menunjuk ke salah satu arah, Clarise mengikuti arah yang ia tunjuk. Sekitar lima orang lelaki yang berdiri disana.

“Oh…” Clarise mengangguk-angguk lalu memperkenalkan Kyle pada Axel. “Ini sahabatku. Dia belajar di fakultas kedokteran.”
Kyle menjabat tangan Axel. Kyle tersenyum ramah, sementara Axel hanya mengangguk acuh tak acuh.
“Ah, baiklah. Aku harus kembali pada teman-temanku sebelum mereka mengamuk. So see you tomorrow…” Kyle berpamitan.
“Oke, see you…” Clarise melambai dan melihat kepergian Kyle sampai ia menjauh.

“Siapa dia? Pacarmu?”
Clarise buru-buru menoleh menatap Axel. “Bukan! Dia seniorku. Kami bertemu di pesta haloween.”
“Sepertinya kau tertarik dengannya. Benar?”
“Ya, sedikit.” Clarise mempertemukan jari telunjuknya dengan jempol.
“Lalu kenapa tidak berpacaran dengannya saja? kelihatannya dia juga menyukaimu.”

Clarise heran melihat Axel yang mendesaknya seperti itu. “Kau ini. Kami baru saja bertemu. Kenapa menyuruhku berpacaran dengannya? Lagipula dia orang Amerika.”
“Lalu kenapa kalau dia orang Amerika? Kau sedang malas berhubungan dengan orang yang berbeda budaya?”
“Ya. Aku sudah berkali-kali bertemu dengan orang Amerika dan aku selalu tidak cocok dengan mereka. Tapi kali ini…” Clarise menerawang ke depan. “Semoga saja Kyle bisa merubah persepsiku pada orang Amerika.”

He is My Sunshine 1 (cerbung)


Clarise baru saja keluar dari supermarket ketika ponsel di mantelnya bergetar hebat. Cepat-cepat ia merogoh mantel dengan sebelah tangan yang bebas lalu melihat siapa yang menelepon. Matanya sedikit melebar. Axel? Ternyata lelaki itu sudah menelepon sebanyak tiga kali sebelumnya. Clarise tersenyum. Clarise memang suka melihat namanya muncul di layar. Tapi selanjutnya ia menyesal kenapa sedetik yang lalu ia kegirangan melihat namanya. Pasti Axel sedang membutuhkan bantuannya. Entah menyuruh Clarise datang ke rumahnya untuk memasak sesuatu untuknya atau membantu mengerjakan tugas kuliahnya. Please! Memangnya Clarise ini siapa? Pembantunya!

Clarise menghentikan gerutuannya di dalam hati lalu segera mengangkat teleponnya sebelum Axel marah lagi karena tiga panggilan sebelumnya terabaikan.
“Halo… ada apa?” sapa Clarise langsung. Clarise berjalan menuju tempat dimana ia memarkir sepeda anginnya.
“Hei, gadis sepeda angin! Lama sekali kau mengangkat teleponku! Darimana saja…”
Benar, kan? Terlambat mengangkat telepon saja Clarise kena semprot.
“Hey… jangan marah-marah. Katakan apa keperluanmu meneleponku! Hidupku terlalu pendek hanya untuk mendengarmu mengoceh.”
“Aku butuh bantuanmu.” Nada suaranya merendah.
Tuh, benar lagi! Lagi-lagi dia membutuhkan bantuanku, gerutu Clarise.
“Apa?” sahutnya cuek.
“Aku butuh bantuanmu untuk… untuk memasangkan bola lampu dapurku yang mati.” Axel berkata agak ragu-ragu.

Clarise membelalak terkaget-kaget. “Hei, aku ini wanita! Apa kau tidak malu meminta bantuan pada seorang wanita hanya untuk memasang bola lampu!”
“Iya, iya… aku tahu. Ini memang hal memalukan seumur hidupku. Karena itu aku menghubungimu. Paling tidak, hanya kau yang paling dekat denganku dan mampu menyimpan rahasia memalukan ini. Kau tahu kan, aku anak rantauan, jauh dari orang tua, menimba ilmu disini. Dan kau tahu aku baru saja kehilangan Mike yang baru saja pindah apartemen kemarin malam. Biasanya hal yang bersifat teknis, Mike yang selalu lakukan. Termasuk memasang bola lampu dan memperbaiki alat elektronik lainnya yang rusak. Ya, aku tidak heran karena dia seorang mahasiswa elektro. Lantas aku, aku hanya seorang mahasiswa kedokteran yang hanya tahu anatomi tubuh. Bukan anatomi lampu. Jadi, aku mohon, bantulah aku. Demi Tuhan. Aku janji akan mengajakmu makan eskrim atau membelikan apapun yang kau mau. Lagipula kau kan mahasiswi teknik. Jadi bisa dipastikan kau bisa melakukannya…”

Clarise cepat-cepat menambahkan “Ralat! Aku mahasiswi teknik sipil. Yang tentu saja nggak ada hubungannya dengan mata kuliah “kelampuan”!” Clarise mendengus panjang dan menyadari ia telah sampai di tempat sepeda anginnya terparkir.
“Oke, aku tahu sayang… yang penting aku yakin kau bisa melakukannya. Jadi, aku tunggu kehadiranmu di apartemenku sebelum hari gelap. Kau setuju, kan, manis? Aku bisa menumpang tidur di tetangga kalau kau datang saat hari gelap.”

Clarise mendengus lagi. Kenapa ia gemar sekali mengatakan hal-hal yang manis sampai Clarise mendapati hatinya luluh, lemah tak berdaya. Dasar lelaki! Hebat sekali dia mengambil hatiku.
“Akan kuusahakan! Mungkin aku akan datang pada saat gerhana bulan penuh nanti!” ucap Clarise asal lalu menutup telepon tak peduli kemungkinan Axel akan mengomel lagi karena ia menutup teleponnya secara sepihak. “Bullshit.” omelnya pada ponsel sebelum ia masukkan lagi ke dalam mantel. Setelah itu ia letakkan seluruh belanjaannya di keranjang sepeda lalu mengayuh sepeda itu pulang.

Clarise memang menyadari kenyataan bahwa Axel hanya akan menghubunginya disaat Axel membutuhkannya saja. Saat weekend, dimana Clarise  membutuhkannya untuk sekedar menemani jalan-jalan sekaligus menghilangkan rasa bosan, Axel tak akan pernah ada bersama Clarise. Ia sibuk menghabiskan waktu dengan wanita-wanita cantik di dekatnya. Tak heran lagi dengan kelakuan ajaibnya yang selalu gonta-ganti pacar, mengingat wajah campuran Eropa Turki-nya yang sangat menawan dan mampu melelehkan siapapun yang melihatnya. Apalagi sikapnya yang ramah dan manis pada siapapun, makin membuatnya bernilai plus-plus. Wanita mana yang tidak jatuh cinta padanya. Begitu juga dengan Clarise.

Yeah… Clarise juga salah satu wanita yang mengagumi Axel. Clarise tidak tahu kenapa ia begitu bodohnya bisa jatuh cinta pada lelaki playboy macam Axel. Itu salah satu kebodohan terbesar dalam hidupnya. Clarise telah jatuh cinta padanya sejak SMA. Dan itu berarti ia sudah mencintai Axel selama hampir empat tahun. Ini memang gila. Sangat gila sekali.
Clarise sudah lama mengenal Axel. Semenjak kematian kedua orangtuanya, Axel diasuh oleh orangtua angkatnya. Rumah Axel berhadapan dengan rumah Clarise. Itu sebabnya mereka menjadi tetangga sekaligus sahabat dekat. Dan ketika Axel lulus dari SMA, orangtua angkatnya pindah keluar kota sehingga Axel mau tidak mau menjalani hidupnya sendiri. Ia masih menetap di kota ini dan tinggal di sebuah apartemen tak jauh dari rumah Clarise bersama seorang temannya. Tapi karena suatu hal yang terjadi, Mike, teman apartemen Axel memutuskan pindah ke apartemen lain. Clarise masih tidak tahu alasan kepindahan Mike. Mungkin ia akan menanyakannya pada Axel nanti.


***


“Kau tinggal putar bola lampunya. Seperti ini.” Clarise memutar bola lampu dengan berpijak pada kursi dapur yang tinggi lalu menggantinya dengan yang bola lampu baru. Axel kebagian memegangi kaki Clarise agar dapat menangkapnya sewaktu-waktu jika Clarise terjatuh. Clarise menunduk menatapnya di bawah. “Apanya yang susah?”
Axel tersenyum malu lalu membimbing Clarise untuk turun. “Oke, sekarang aku sudah paham bagaimana cara memasang bola lampu yang baik.”
Clarise mendengus. “Kau memang payah.”

“Ya, aku memang payah. Tapi aku tidak akan payah dalam hal memperebutkan hatimu.” Axel menatap Clarise tulus sambil memiringkan kepalanya.
Clarise tersenyum mengejek meskipun dalam hati ia gembira bukan main. Ah, lagi-lagi kata-kata manis itu.

Namun imajinasinya pecah saat terdengar pintu yang diketuk dari luar. Axel mengalihkan pandang ke arah pintu. “Aku yakin aku tidak ada janji dengan siapapun. Tapi... sebentar...” ia berjalan ke arah pintu dan membukanya.
Saat itu juga Clarise tahu kalau tamunya kali ini adalah seorang wanita. Karena dari tempatnya berdiri ia bisa mendengar sayup-sayup suara wanita yang menyapa Axel dengan mesra. Siapa lagi?  

Clarise hanya bisa menduga-duga, pasti dia pacar baru Axel. Setiap minggu ada saja wanita baru di hidupnya.
Terdengar suara Axel yang ringan dan ceria mempersilakan tamunya masuk. Clarise bersedekap dan masih menunggu di dapur tempatnya berdiri, menunggu kedatangan Axel dan tamunya.
“Apartemenmu memang selalu sepi begini?” tanya wanita itu. Suaranya makin mendekat dan terdengar jelas.
“Iya. Aku baru saja kehilangan teman apartemenku. Oya, hanya sahabatku yang biasanya datang kesini. Dia ada di dapur. Akan kukenalkan kau padanya.”

Clarise melihat Axel dan teman wanitanya muncul. Dan seketika saja ia terkesiap. Ia kira teman wanita Axel itu adalah orang Perancis. Karena bahasa Perancisnya begitu bagus didengar. Ternyata, begitu melihat wajahnya, Clarise baru tahu kalau dia orang Asia. Tubuhnya tinggi semampai, kurus kering, matanya kecil, dan ia mewarnai rambutnya dengan warna kuning menyala. Astaga, darimana Axel mendapatkan boneka aneh ini?
“Ini Clarise. Sahabat terbaikku.” Axel memperkenalkan boneka aneh itu. “Clare, ini Hana. Teman sekelasku. Dia orang Korea yang meneruskan kuliah disini. Meskipun begitu, bahasa Prancisnya sangat bagus, bukan?”
Clarise mengulurkan tangan dan kemudian disambut olehnya. “Ah, jangan memuji.” Ucapnya malu-malu.

“Kau ingin makan apa?” Axel menuju kulkas lalu membukanya. “Aku tidak punya makanan selain sereal.”
“Oh, sebenarnya… aku ingin mengajakmu dinner malam ini.” Hana terdengar ragu-ragu mengucapkannya.
Axel mendongak menatap Hana dengan tatapan mata berbinar. “Oya… kalau begitu ayo. Kau ingin makan dimana?”
Setelah mendengar persetujuan dari Axel, Clarise buru-buru membereskan barangnya sebelum Hana mengira ia akan jadi benalu dalam acara dinner mereka.

“Lho, Claire… kau mau kemana?” Axel heran melihat Clarise memasukkan barang-barangnya ke dalam tas.
“Aku harus pulang. Aku lupa bahwa aku ada janji dengan kawan-kawanku.” Ucapnya lalu beralih menatap Axel.
“Begitu?” kedengarannya Axel tidak percaya dengan alasan Clarise.
“Yap. Aku pergi dulu. Sampai jumpa, Axe. Hana, senang berkenalan denganmu, sampai jumpa.” Clarise pamit lalu buru-buru keluar dari apartemen laknat itu untuk segera menghirup udara bebas. Setelah pintu tertutup, barulah ia meluapkan emosinya. Ia menghentak-hentakkan kedua kakinya sambil mengomel tidak jelas. “Bajingan, brengsek! Bagaimana bisa aku menjadi kambing congek di tengah kemesraan mereka! Lalu aku ini kau anggap apa, Axe! Obat nyamuk bakarmu! Atau kecoa tempur di kamar mandimu! Benar-benar keter…” Clarise melihat dua pasangan suami istri berjalan melewatinya dan terheran-heran melihat ia mengomel sendiri. Seketika umpatannya berhenti. Clarise tersenyum malu lalu mengucapkan “Bonsoir.” Kepada orang yang tak dikenal itu. Mereka hanya mengangguk lalu kasak-kusuk. Huh, benar-benar memalukan!


***


Clarise baru saja keluar dari mata kuliah ekonomi kerakyatan dan langsung bergegas menuju kantin kampus. Tak lupa mengajak Tere, gadis Mesir yang juga teman sekelasnya.
Clarise memesan segelas limun dan sandwich, sedang Tere memesan muffin berukuran besar.
“Kau jadi ikut pesta haloween nanti malam, kan?” tanya Tere begitu mereka menemukan meja yang paling nyaman.
Clarise berpikir sebentar untuk mengingat lalu seketika ia ingat. “Aku tidak punya kostum. Lagipula aku sibuk belajar nanti malam.”
Tere melotot. “Belajar apanya? Aku sungguh-sungguh tahu apa pekerjaan rumahmu sebenarnya. Paling hanya nonton DVD atau memikirkan Axel saja!”
Kini gantian Clarise yang melotot karena Tere memproklamirkan nama Axel keras sekali. Ia takut kalau seisi kantin ini mendengar bahwa ia diam-diam mengagumi sahabatnya sendiri.
“Aku punya kostum Snow White. Kau bisa meminjamnya. Gratis! Tanpa membayar.” Ujar Tere menggebu-nggebu.

Clarise mendengus lalu menggigit sandwichnya.
“Ayolah, Clarise. Kau harus ikut. Kalau kau tidak ikut, aku akan kesana dengan siapa? Lagipula kau bisa mencari pacar disana. Tidak melulu memikirkan Axel!” Tere mengetok kepala Clarise dengan sendok. “Apa kepalamu itu hanya berisi Axel dan Axel?”
Clarise mengusap kepalanya yang terkena ketokan sendok Tere. “Kau jangan meledekku. Memangnya salah kalau aku menyukai Axel?”
“Ya tentu saja. Kau tahu, Axel itu laki-laki menyebalkan yang pernah kutemui. Dia memang tampan, tapi sikapnya yang playboy itu yang membuatku tidak suka. Lihat saja tatapan matanya pada perempuan. Liar sekali!”
“Benarkah begitu?” Clarise garuk-garuk kepala yang tidak gatal karena ia sama sekali tak tahu kenyataan soal mata liar Axel. Ia pikir itu sepasang mata yang teduh dan manis.
“Iya. Jadi, kuharap kau bisa datang ke pesta Haloween itu, ya! oke?”
Mau tak mau Clarise menganggukkan kepala sebelum Tere memaksanya lagi.
“Aku jemput jam 8 malam.” Ucap Tere lalu memasukkan muffin-nya ke dalam mulut.


***



Clarise turun dari SUV Tere lalu mengamati sekitar. Pesta ini diadakan di sebuah rumah salah seorang mahasiswa fakultas teknik yang tidak ia kenal dekat. Clarise hanya tahu namanya Gabrielle. Ia kakak kelas Clarise. Gabrielle suka sekali menggelar pesta di rumahnya. Karena itu ia tidak keberatan ketika para teman-temannya mengganggu ketentraman rumahnya dengan acara ini. Selain itu, ia hanya mengundang mahasiswa dari fakultas teknik saja. Pestanya memang tertutup, tapi sangat meriah. Banyak mahasiswa teknik yang datang ke acara itu.

Clarise mengenal sebagian dari mereka meskipun tidak mengenalnya secara dekat. Sekilas ia melihat Mike, mantan teman apartemen Axel. Lelaki itu hanya tersenyum sekilas pada Clarise lalu kembali bergabung bersama teman-temannya. Clarise jadi ingat kalau ia belum menanyakan pada Axel alasan kepindahan Mike.
Tere menarik Clarise masuk agar gadis itu tidak berlama-lama melongo mengamati orang-orang berlalu lalang di teras.

Rumah Gabrielle memang luas dan besar. Sehingga untuk menampung mahasiswa se-fakultas teknik pun masih mencukupi. Para undangan yang datang sudah menikmati acara pestanya. Ada yang berdansa atau sekedar duduk mengobrol. Begitu melihat Gabrielle yang tampak berdiri di ujung tangga dengan kawan-kawannya, Tere langsung mengajak Clarise untuk menghampirinya.

“Hai…” Tere memasang tampang semanis mungkin. Clarise langsung melengos. Gadis yang sedang mengenakan kostum nenek sihir itu memang sudah Clarise curigai sejak lama kalau ia sedang naksir berat dengan Gabrielle. Sementara Gabrielle, Clarise memberinya nilai Sembilan. Ia cukup tampan dengan kostum Superman-nya.
Sementara Tere dan Gabrielle mengobrol, Clarise beringsut menuju meja hidangan mengambil segelas Pepsi dan sepotong pizza. Ia heran, kenapa ia selalu ditakdirkan menjadi obat nyamuk oleh orang-orang di sekitarnya. Tidak dengan Axel maupun Tere. Semua sama saja. Huh, lebih baik sendiri seperti ini daripada menjadi orang ketiga.

Tapi tiba-tiba saat Clarise sedang menggigit pizza, munculah, seorang… hmm… Clarise tidak tahu siapa. Yang jelas, dia seorang lelaki yang berpakaian Colonel of the Irish Guards berwarna biru tua layaknya seorang pangeran. Clarise menelan ludah. Lelaki itu sedang berjalan ke arah Clarise. Ia jadi bertanya-tanya siapa ya laki-laki itu? Clarise tak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena ia sedang mengenakan topeng yang menutupi mata dan sebagian hidungnya. Apakah mungkin dia juga mahasiswa fakultas teknik? Tapi kenapa sepertinya Clarise tidak familiar dengan perawakannya?

Dan di tengah kegalauan pikirannya memikirkan identitas laki-laki itu, Clarise melongo saat lelaki itu menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Clarise.
“Hei, nice costums, Snow White…” pujinya.
Clarise memaksakan tersenyum karena masih terkejut dengan serangan mendadaknya. “You too.”
Lelaki itu mengambil gelas lalu mengisinya dengan cocktail. Ia meneguknya lalu berbicara kembali. “Siapa namamu?”
Clarise ikut meneguk Pepsi hingga habis. “Aku Clarise. Kau?”
“Aku Kyle. Sepertinya ini awal pertemuan kita.”
“Kau juga mahasiswa teknik?” Tanya Clarise penasaran.
“Ya. Aku baru saja pindah dari kampus lamaku, di Cincinnati. Karena itu aku sedikit merasa asing disini.” Kyle menatap sekitar.
Clarise melongo lalu memperbaiki letak bandananya. “Maksudmu, Universitas Cincinnati?”

Kyle mengangguk. Clarise bisa melihat bibirnya yang tidak tertutupi topeng tersenyum. Diam-diam Clarise mengatakan “Wow.” dalam hati.
“Pantas saja. Sepertinya aku merasa asing denganmu.”
Kyle lagi-lagi tersenyum lalu mengajak Clarise untuk duduk di atas sofa. Ia mengikutinya.
“Kau sepertinya bukan orang Perancis. Benar, kan?” Kyle menatap Clarise dan sedikit mengamati wajahnya.
Clarise melebarkan mata. Lalu seketika ia bisa menerka, mungkin saja Kyle menduga dari wajahnya yang sama sekali tidak ada unsur Eropa. “Benar.” Clarise terseyum lebar. “Tepat sekali. Kedua orangtuaku memang orang Indonesia.”

“Indo…nesia?”
“Yah, jangan bilang kau tidak tahu dimana letak Indonesia!” Clarise mulai keki dengan orang macam begini. Sejak kepindahannya ke Perancis lima tahun silam, ia sudah berkali-kali menemui orang-orang yang tidak mengetahui letak Indonesia. Bagaimana bisa penduduk di dunia ini tidak mengenal Negara sebesar itu? Termasuk Axel. Saat pertama kali mereka bertemu dan Clarise menyebutkan bahwa ia berasal dari Indonesia, Axel hanya melongo blo’on. Tapi Clarise masih bisa memaklumi karena saat itu Axel masih berumur 15 tahun. Bisa dipastikan pengetahuan umumnya masih minim. Tapi, setidaknya saat ia melihat peta, dia bisa langsung menangkap gambar kepulauan Indonesia. Tunggu saja, kalau Kyle sampai tidak tahu Indonesia itu apa, siap-siap ia keluarkan jurus cakar ayamnya.

“Tentu saja aku tahu Indonesia. Sebuah negara kepulauan, yang diapit dua samudra besar dan dua benua besar.” Kyle tersenyum puas dengan jawabannya. Giliran Clarise yang melongo. Ia kira dia tidak tahu menahu soal Indonesia.
“Yah, walaupun aku tak pernah berkunjung kesana, tapi setidaknya aku tahu.” Tambah Kyle lagi.
Clarise kembali terkagum-kagum dengan lelaki satu ini.
“Lalu apa yang membuatmu menetap di Perancis? Maksudku, apa kau sudah bosan tinggal di tanah airmu sendiri?”
Clarise cepat-cepat menggeleng. “Bukan. Ibuku seorang peracang busana. Beliau ingin mengembangkan usaha butiknya disini. Sejak ayahku meninggal, ibuku memutuskan untuk memboyong anak-anaknya untuk menetap di Perancis. Ibuku yakin kalau rancangan batiknya akan sukses disini.”

“Pardon me, maksudmu, batik?”
Ah, Clarise membodohi dirinya. Bagaimana mungkin Kyle mengetahui soal batik. “Batik itu pakaian adat Indonesia. Setelah lima tahun kami berada disini, rancangan batik ibuku mulai diminati. Butiknya pun ramai oleh pelanggan. Aku senang karena cita-cita ibu dalam memperkenalkan batik ke dunia internasional mendapat respon yang baik.”
Kyle tersenyum kecil sambil tampak berpikir.
“Ah, maaf, aku kebanyakan bicara, yah.” Clarise tersenyum malu.
“Tidak apa. Aku suka mendengar orang bercerita.”

Clarise menyipit. “Bisakah kau melakukan sesuatu untukku?”
Alis Kyle terangkat. “Ya. Asal kau tidak menyuruhku menari striptis.”
Spontan Clarise tertawa kencang. “Tidak. Aku tidak akan setega itu. Bisakah kau membuka topengmu itu untukku?” Clarise meminta sambil menunjuk topengnya. Ia benar-benar penasaran dengan Kyle. Maksudnya, tak adil rasanya kalau ia sudah melihat wajah Clarise sedang Clarise sama sekali tidak bisa melihat wajahnya. Clarise pikir dia seorang lelaki yang manis.

Clarise melihat Kyle tertawa. “Aku sudah berjanji pada diriku sendiri kalau aku baru akan membuka topengku pukul 12 nanti.”
Clarise melongo. “Tapi… aku harus pulang pukul setengah 12. Ibuku sudah mengancamku untuk tidak memberiku uang jajan kalau aku baru pulang pukul 12 lewat!” ujarnya menggebu-nggebu.
Kyle tampak berpikir-pikir. “Berarti, sayang sekali… kau tidak akan bisa melihat wajahku.”
Clarise mendengus keras. “Apa wajahmu baru berubah tampan kalau jam sudah menunjukkan pukul 12 tepat!” Clarise hampir saja menarik topengnya tapi Kyle buru-buru menangkap tangan Clarise, mencegahnya untuk meraih topengnya.  

“Kau harus mengikuti prosedur.”
Clarise sedikit kesal dengannya. Tapi bagaimanapun toh akhirnya ia yang mengalah.
“Ehem, snow white…” Clarise terkejut mendengar suara itu dan buru-buru mendongak. Teryata Tere. Ia berdiri di samping sofa sambil bersedekap. Kostumnya makin membuatnya seperti nenek sihir. Clarise buru-buru berdiri dan baru menyadari kalau tangannya masih berada dalam genggaman Kyle. Ketika ia berdiri, spontan genggamannya terlepas.
“Hay… kau sudah selesai?”
Tere tampak memberi kode agar Clarise memberitahunya siapa sebenarnya cowok asing ini? Dan kenapa bisa mereka bersama?
Clarise garuk-garuk. “Ehh, ini… Kyle. Hey, Kyle, ini Tere. Teman sekelasku.”
Kyle menjabatnya ramah. “Sebenarnya aku seniormu. Karena itu jangan lupa untuk menyapaku kalau kita bertemu nanti.” Ucap Kyle sambil tersenyum ramah.
Tere melongo lalu mata besarnya menyipit. “Benarkah? Tapi kenapa rasanya aku baru mengenal dan mendengar namamu. Maksudku, aku sungguh-sungguh mengenal seluruh mahasiswa teknik.”

“Dia mahasiswa pindahan dari Cincinati.” Jawab Clarise buru-buru. “Karena itu kita merasa asing dengannya.”
“Ooh…” gumam Tere tapi kemudian ia tersenyum penuh arti. “Tapi kurasa kau menemukan teman dansa yang tepat.”
Clarise tidak memahami maksud Tere. Tapi akhirnya ia mengerti. Selang beberapa detik kemudian lampu ruangan meredup lalu terdengar alunan musik lembut yang mendayu-dayu. Semua orang yang berpasang-pasangan mulai berdansa. Clarise masih melongo di tempatnya berdiri sebelum suara rendah membangunkan lamunannya.
“Maukah kau berdansa denganku?”
Clarise mengerjab-ngerjabkan matanya tapi kemudian otaknya mulai bekerja lalu membiarkan Kyle membimbing tangannya. Lelaki itu mengajaknya berdansa. Beberapa saat tubuh Clarise tampak kaku. Tapi setelah bisa menguasai keadaan, Clarise mulai bisa menikmatinya.
“Clarise, bisakah kau sedikit menggeser kakimu ke kanan. Kau menginjak kakiku dengan high heels-mu.”
Clarise terkejut dan cepat-cepat melirik ke bawah lalu menggeser kakinya. “Maaf…” ia mendongak menatap Kyle yang sepuluh senti lebih tinggi darinya dengan tampang bersalah. “Kau pasti kesakitan.”
Kyle meringis. “Sedikit.”
Clarise menatap Kyle makin bersalah tapi yang ditatap malah tertawa lebar. “Tidak. Aku lelaki yang kuat, kau tahu. Tentu saja aku bisa menahan kesakitan itu.”
Clarise tiba-tiba merasa telah dibodohi. Ia pura-pura kesal sambil menepuk bahu Kyle. “Awas kau.”

Kyle makin tertawa kencang lalu sedikit berbisik dan melontarkan lelucon lagi hingga membuat Clarise lagi-lagi terkesan dengan laki-laki itu. Clarise tak henti-hentinya tertawa sampai-sampai ia melupakan bahwa jam sudah hampir menunjukkan pukul dua belas.
“Oh, my God.” Clarise mendesis begitu melirik jam yang melingkar di tangannya. “Aku harus pulang sekarang sebelum ibuku memanggangku dan menjadikan aku BBQ!!” Clarise buru-buru mengambil tas dan sweaternya yang tersampir di sandaran sofa. Ia hampir saja tersandung sesuatu karena keadaan ruangan yang remang-remang. Tapi untunglah tangan Kyle cepat-cepat menahannya. “Hei, calm down, please. Tenanglah… ini baru pukul 23.45.”

“Ya… tapi tetap saja. Aku harus sampai di rumah hanya dalam waktu lima belas menit.” Wajah Clarise sudah menyiratkan kekhawatiran. Ia memandang ke segala arah. Mencari Tere. Dan ia dengan segera menemukan Tere di pojok ruangan, berdansa gila-gilaan dengan teman-teman perempuannya. “Oh, damn.” Clarise mendesis lagi. Ia tidak bisa memastikan kondisi Tere apa ia sedang mabuk atau tidak. Kyle yang mengikuti arah pandang Clarise langsung paham. Ia beralih menatap Clarise dengan tatapan meyakinkan. “Oke. Biar aku saja yang mengantarmu pulang.”

Clarise membelalak. “Jangan, jangan! Aku bisa menyegat taksi, atau menunggu Tere kalau perlu.” Satu peraturan lagi yang di buat ibunya, Clarise sama sekali tidak diperkenankan pergi atau pulang bersama seorang lelaki setelah lewat jam sepuluh. Clarise benar-benar frustasi memikirkan itu.

“Tidak masalah. Tenanglah. Aku akan bertanggung jawab atasmu. Oke?”
“Tidak! tapi…” Clarise melirik jamnya lagi lalu terperanjat. “Oke, oke! Aku akan pulang bersamamu. Ayo!”
Clarise dan Kyle buru-buru keluar dari pesta lalu menuju tempat dimana mobil Kyle terparkir. Yang ada di pikiran Clarise saat itu adalah bagaimana caranya ia sampai di rumah lebih cepat! Tepat lima belas menit atau kalau bisa kurang dari itu. Clarise menggigit bibirnya, mengeluarkan ponsel dari tas lalu mengirim pesan pada Tere.

To : Tere
Aku pulang lebih awal. Maaf kalau aku tak memberitahumu dulu. Thx. Salam buat Gabrielle. Really nice party.

        Setelah menekan tombol send, Clarise melenguh keras. Ia baru menyadari bahwa lelaki yang berada di sampingnya sedang berkonsentrasi menyetir dengan kecepatan tinggi. Clarise sedikit melirik kearah spidometer. Ya Tuhan, 160km/jam. Clarise hanya bisa berdoa dalam hati semoga tak ada polisi yang berkeliaran sehingga Kyle tak perlu ditilang karena mengebut dengan kecepatan seperti ini.

Clarise sedikit memberi instruksi dimana letak rumahnya dan ia boleh sedikit bernapas lega. Rumahnya tak jauh lagi dari daerah ini.
Beberapa saat kemudian Kyle menghentikan mobilnya di depan rumah Clarise. Kyle sedikit mendongak melihat rumah besar yang dipenuhi kaca itu.

“What a lovely house.”
“Thanks.” Clarise membuka sabuk pengamannya lalu sedikit menemukan kesulitan disana.
“Sabuk pengamanku memang sedikit ada masalah.” Kyle membantu Clarise melepas sabuk pengamannya, dan baru Clarise sadari kalau selama Kyle menyetir dengan kecepatan tinggi tadi, lelaki itu masih mengenakan topeng. Ya Tuhan. Dia itu masih waras tidak sih?
Clarise baru akan mengomeli Kyle karena tingkah bodohnya namun segera menyadari ia harus masuk rumah sebelum besok pagi ia tidak bisa melihat indahnya dunia karena ibunya sudah menjadikan ia sambal terong.

“Oke, terimakasih atas tumpangannya. Selamat malam…” Clarise baru akan membuka pintu mobil namun gerakannya tertahan oleh panggilan Kyle.
“Kau… apa aku tidak perlu mengantarkanmu sampai depan pintu rumahmu?”
Clarise tersenyum lalu menggeleng. “Aku sudah terlalu banyak merepotkanmu. Kita baru pertama kali berkenalan tapi aku sudah mengganggu hidupmu seperti ini. Sekali lagi terimakasih.” Clarise mengangguk maklum lalu melebarkan pintu mobilnya. Ia melambai ke arah kaca mobil ketika ia sudah berada di luar.

“Sampai jumpa!” teriaknya, lalu berbalik dan masuk ke rumahnya.
Kyle tersenyum. Beberapa saat ia menunggu gadis itu hingga ia benar-benar masuk ke dalam rumah. Setelah itu, barulah ia membuka topengnya lalu melemparkannya sembarangan ke jok belakang. Ia tersenyum lagi, memandang sekilas ke arah rumah Clarise lalu melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.